PENYIMPANGAN TAFSIR DARI ASPEK ISRAILIYYAT
Oleh :Mochammad Abdullah
Khabibatur RohmahA. Latar BelakangAl-Qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Sebagai kitab suci yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan manusia (mas{a>lih al-ummah), hal tersebut kemudian mengantarkan umat Islam untuk selalu mendialogkan al-Qur’an dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas. Sehingga upaya penafsiran al-Qur’an merupakan suatu keharusan yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Ia merupakan upaya dan ikhtiyar untuk memahami pesan Ilahi, namun sehebat apapun manusia, mereka hanya bisa sampai pada derajat pemahaman relatif dan tidak bisa mencapai pada pemahaman absolut dalam membaca teks al-Qur’an.[1]
Hal itu dapat dimaklumi, mengingat peran Rasulullah Saw. sebagai tumpuan dari problem yang ada, sudah tidak lagi di tengah-tengah mereka.[2] Namun, usaha memahami al-Qur’an tidak berhenti begitu saja. Demikian, sampai masa sahabat, tabi’in dan beberapa masa setelahnya, panafsiran terus saja berlanjut, tentunya dengan karakteristik penafsiran yang berbeda sesuai dengan kecendrungan yang ada. Maka amatlah wajar, jika belakangan bermunculan perbedaan dan penyimpangan dalam tafsir al-Qur’an.[3]
Pada dasarnya, perbedaan ataupun penyimpangan dalam tafsir al-Qur’an disesebabkan oleh banyak faktor. Diantara faktor yang paling menonjol adalah kemampuan dan keterbatasan akal manusia dan subjektifitas seorang mufassir. Selain itu, sikap mufassir yang kurang berhati-hati dalam mencamtumkan riwayat dan tidak selektif dalam menerima sumber-sumber dari luar Islam. Pada periode awal atau generasi pertama, mufassir lebih berhati dalam menerima riwayat atau sumber-sumber yang datang dari luar Islam, seperti Isra>i>liyya>t. Namun mufassir pada generasi selanjutnya, disamping banyak menerima isra>i>liyya>t tak jarang mereka yang menghilangkan sanad-sanad dalam riwayat hadis, sehingga bercampurlah antara yang benar dan yang salah. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.[4]Dalam kajian tafsir, bentuk penyimpangan ini disebut dengan al-dakhi>l. Secara etimologi al-dakhi>l berasal dari kata dakhala yang berarti masuk. Ibn Manz}u>r mengatakan si fulan masuk ke kaumnya si fulan, jika ia tidak termasuk dari kaum tersebut.[5] Al-Zamakshari> dalam kitabnya mengartikan sebagai aib atau makanan yang bisa merusak tubuh.[6] Sedangkan dalam kamus al-Muh}i>t}, Fairu>z Zaba>di> mengartikan hampir senada dengan Al-Zamakshari> yaitu penyakit atau zat yang masuk kedalam tubuh atau menyerang akalnya.[7] Dari sekian banyak arti maka dapat disimpulkan bahwa al-dakhi>l mempunyai arti kerusakan, aib, penyakit, penyelewengan atau penipuan.Sedangkan secara terminologi al-dakhi>l para peneliti atau ahli tafsir berbeda-beda dalam medefinisikan. Ibrahi>m Khalifah misalnya medefinisikan al-dakhi>l sebagai tafsir al-Qur’an yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam ajaran Islam, baik berupa tafsir yang menggunakan riwayat-riwaya, hadis yang lemah dan palsu, ataupun yang menggunnakan akal yang kurang sehat, dalam artian belum mencukupi persyaratan ijtiha>d.[8]Berdasarkan definisi tersebut, para ulama tafsir membagi al-dakhi>l menjadi dua jenis yaitu al-dakhi>l bi al-athar (riwayat) dan al-dakhi>l bi al-ra’yi al-fa>sid (akal yang tidak sehat). Al-dakhi>l bi al-athar meliputi tafsir al-Qur’an dengan menggunakan hadis-hadis yang lemah (d}a’i>f) atau palsu (maud}u>’), dan tafsir yang bersumber dari umat terdahulu (isra>i>liyya>t) yang bertentangan dengan ajaran Islam.[9] Dengan demikian para mufassir yang menggunakan isra>i>liyya>t ini tidak akan lepas dari penyimpangan dalam tafsirnya.B. Pengertian Isra>i>liya>tIsra>i>liya>t bentuk jamak dari kata isra>iliyyah, dinisbatkan kepada Bani Israil. Israil adalah Nabi Ya’qub As. yang artinya adalah hamba Allah. Bani Israil adalah anak-anak beliau, mulai dari keturunan mereka sampai zaman Nabi Musa As dan nabi-nabi setelahnya, zama Isa As, dan zaman Nabi Muhammad Saw.[10] Terkadang isra>i>liya>t identik dengan Yahudi, kendati yang sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk pada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk pada pola pikir, termasuk di dalamnya agama dan dogma.[11]Sedangkan definisi atau maksud dari isra>i>liya>t adalah suatu pengetahuan baik berupa riwayat ataupun kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani (ahlul kitab), yang kemudian digunakan oleh ulama’ tafsir dan hadis dalam menjelaskan nas} al-Qur’an.[12] Melihat pengertian ini dikatakan bahwa isra>i>liya>t adalah sebuah istilah yang bersifat “netral”. Artinya, dapat berupa kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani atau lainnya, serta dapat pula sejalan atau tidak sejalan dengan Islam. Tampaknya para ulama menganggap bahwa yang menjadi sumber utama isra>i>liya>t adalah Yahudi dan Nasrani dengan menekankan pada Yahudilah sumber utamanya sebagai cermin dari kata isra>i>liya>t. Namun, perlu diingat bahwa pada umumnya isra>i>liya>t adalah kisah yang bersumber dari nonmuslim yang kemudian masuk ke dalam Islam. Kalaupun ada yang sejalan dengan Islam, hal itu tidaklah terlalu urgen untuk dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran al-Qur’an.[13]C. Masuknya Kisah Isra>i>liya>t ke dalam TafsirSebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwasannya israiliyat itu cerita-cerita atau informasi yang bersumber dari orang yahudi dan Nasrani yang telah menyelusup dalam masyarakat Islam, setelah banyak dari mereka yang memeluk agama Islam. Sehingga dengan demikian, tak jarang masyarakat Islam yang ingin mengetahui cerita-cerita ahlul kitab yang pernah mereka ketahui. Selain itu disebabkan karena al-Qur’an dalam mengemukakan kisah-kisah para nabi misalnya, mempunyai pola yang berbeda dengan Taurat dan Injil. Al-Qur’an hanya menjelaskan secara singkat dan hanya mengambil bagian kisah yang membawa pesan dan tidak mengungkapkan secara detail dan rinci terkait permasalahannya. Seperti menyebutkan siapa nama orang yang ada dalam kisah tersebut dan dimana negeri tempat kejadian peeristiwa itu. Al-Qur’an hanya mengambil beberapa tema dan mengedepankan hikmah ataupun pelajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut.[14]Berbeda dengan Taurat dan Injil, meskipun menceritakan kisah yang sama, namun di dalam Taurat dan Injil diceritakan secara detail dan panjang lebar. Sehingga dengan membaca sekali saja, orang yang membaca akan mengetahui siapa orang yang berperan dalam kisah dan dimana tempat peristiwa itu terjadi.[15] Karena ada keinginan untuk mengetahui kelengkapan kisah tersebut, maka diantara kaum muslimin pada masa sahabat ada yang meminta beberapa ahlul kitab yang telah masuk Islam, seperti Abdullah bin salam dan Ka’ab al-Akhbar untuk memberikan keterangan mengenai hal tersebut. Dengan tujuan, secara garis besar hanya untuk memperjelas kisah yang disebut dalam al-Qur’an dan tidak menyimpang dari syariat Islam atau batas kebolehan dalam meriwayatkannya.[16]Faktor inilah yang kemudian menjadi pintu masuk isra>i>liya>t dalam tafsir al-Qur’an. Menurut penelitian yang dilakukan oleh al-Dhahabi>, bahwa masuknya isra>i>liya>t dalam tafsir sudah dimulai sejak zaman sahabat. Tercatat beberapa sahabat yang terlibat dalam proses itu, seperti Ibnu ‘Abba>s, Abu> Hurairah, Ibnu Mas’u>d, dan ‘Umar bin ‘Ash.[17] Namun perlu diingat meskipun mereka ikut terlibat dalam meriwayatkan isra>i>liya>t, mereka masih berada dalam batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Mereka tidak bertanya kepada ahlul kitab tentang segala sesuatu. Melainkan yang mereka tanya hanyalah sebatas penjelasan kisah-kisah al-Qur’an dan itupun disertai dengan sikap memberi penilain benar atau salah, bahkan sering juga mereka menolak riwayat isra>i>liya>t. [18] Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :حدثوا عني بني إسرائيل ولا حرج ومن علي متعمدافيتبوأ مقعده من النار[19]
Al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri>, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 181.“Sampaikanlah apa yang kalian terima dari aku walaupun hanya satu ayat. Ceritakan apa yang kalian dengar dari Bani Israil, dan itu tidak ada salahnya. Barangsiapa berdusta atas namaku maka bersiaplah untuk masuk neraka”.لا تصدقوا أهل الكتاب ولاتكذبهم وقولوا آمنا باله وما أنزل إلينا [20]“Janganlah kalian benarkan orang-orang ahlul kitab dan janganlah kalian (tergesa-gesa) mendustakannya. Hendaklah kalian katakan kepada mereka, kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami serta kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kalian”.Praktik semacam ini, tidak bertahan terus secara konsisten seperti yang dilakukan sahabat. Pada masa ta>bi’i>n tak jarang kisah isra>i>liya>t diselundupkan ke dalam kitab-kitab tafsir. Hal ini dimulai sejak pengkodifikasian kitab tafsir yang dipisahkan dari hadis, sehingga membentuk suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akibatnya, kebiasaan yang dilakukan ulama dalam menulis sanad secara lengkap, sudah tidak lagi dilakukan. Mereka meriwayatkan tafsir dari para mufassir sebelumnya tanpa menyebutkan nama mufassir yang disebut ataupun menghilangkan mata rantai sanadnya. Sehingga sejak saat itu riwayat-riwayat tafsir banyak dipalsukan ataupun diselewengkan dan sulit untuk dilacak kebenarannya.[21]Penyelundupan isra>i>liya>t dalam kitab tafsir, pada hakikatnya disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena banyaknya orang orang-orang ahlul kitab yang masuk Islam, sehingga tatkala berinteraksi dengan masyarakat Islam tak jarang dari mereka yang menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka tentang agamanya. Kedua, adanya keinginan dari orang Islam untuk mengetahui kisah-kisah orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya yang mana dalam al-Qur’an tidak diceritakan secara rinci. Oleh karenanya, banyak mufassir yang memasukkan kisah-kisah isra>i>liya>t untuk mengisi kekosongan dalam tafsirnya, tanpa bersikap selektif dalam meriwatakannya. Akibatnya kisah-kisah tersebut penuh dengan kisah-kisah yang bersimpang siur dan bahkan mendekati takhayyul dan khurafat.[22]Pada masa sesudah ta>bi’i> problem semacam ini terus berjalan. Bahkan ada mufassir yang mempunyai perhatian lebih dan berlebih-lebihan dalam meriwayatkan isra>i>liya>t. Kecenderungan yang berlebihan terhadap kisah isra>i>liya>t yang pada umumnya berisi khurafat dan bahkan ada diantaranya yang mengingkari kesucian para nabi, kemudian berdampak pada banyaknya kitab tafsir yang penuh dengan kisah-kisah semacam ini. Sehingga banyak pengkaji dan peneliti tafsir yang ragu-ragu terhadap kredibilitas kisah tersebut walaupun kenyataaan terkadang benar.[23]Menurut al-Dhahabi> mufassir yang mempunyai perhatian besar terhadap kisah-kisah isra>i>liya>t, dan dengan sangat mencolok ia memasukkan isra>i>liya>t ke dalam tafsirnya adalah Abu> Ish}a>q Ah}mad bin Ibra>hi>m al-Tha’labi> (w 427 H.) dengan karyanya al-Kashfu wa al-Baya>n ‘an Tafsi>ri al-Qur’a>n dan ‘Ala>udi>n Abu> al-H{asan ‘Ali> bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m bin ‘Umar bin Khali<l al-Shaihi> al-Bagdadi> yang lebih terkenal dengan julukan al-Kha>zin (w 741 H.) dengan karyanya Luba>bu al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.[24] Kedua mufassir itu adalah sebagian saja yang dalam tafsirnya memasukkan isra>i>liya>t, namun diantara sekian mufassir masih banyak yang dalam tafsirnya menggunakan riwayat isra>i>liya>t, yang mana dalam hal ini tidak akan lepas dari penyimpangan dan penyelewengan.D. Contoh Penyimpangan dalam TafsirBerikut merupakan contoh penyimpangan dalam tafsir yang disebabkan karena kesalahan mufassir dalam menerima informasi dari luar (Islam) ataupun kisah-kisah isra>’iliyya>t.1. Tafsir Al-ThabariDiantara ulama yang menampilkan isra>’iliyya>t untuk menafsirkan ayat tersebut adalah Ibn Jari>r Al-Thabari. Misalnya, isra>’iliyya>t yang digunakan untuk menafsirkan firman Allah dalam surat al-A‘raf ayat 150:وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ[25]“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim".Riwayat itu diterimanya dari Basyr Ibn Mu’a>dz dari Yazi>d, dari Sa‘i>d, dari Qata>dah, ia mengatakan bahwa ayat di atas di antaranya berbicara tentang kemarahan Nabi Musa yang diekspresikan dengan cara melempar alwâh (kitab suci). Kemarahan Nabi Musa menurut riwayat itu disebabkan iri dan merasa kecewa, setelah membaca alwa>h tersebut, terhadap keunggulan-keunggulan umat Nabi Muhammad sebagai umat terbaik, terakhir diciptakan dan paling awal akan masuk surga, serta keunggulan lainnya. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa Nabi Musa “merengek-rengek” agar umatnya pun diberi keunggulan sambil melemparkan alwa>h tersebut.[26]2. Tafsir Al-Tha’labiMenurut al-Dhahabi> penafsiran kalangan ahli sejarah terdapat kerancuan dan menyimpang, salah satunya adalah penafsiran dari Abu Isha>q Ahmad bin Muhammad bin Ibrahi>m Al-Tha’labi dalam bukunya Al-Kashfu wal Baya>nu ‘an Tafsi>ril Qur’an.Contoh dari kisah yang diungkapkan Al-Tha’labi dalam buku tafsirnya, yakni dalam menafsirkan surat al-Kahfi ayat 10:إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا[27](Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)".Al-Tha’labi meriwayatkan kisah ini dari Saydi , Wahab bin Munabbih dan lain-lainnya sebagai berikut: “...nama-nama mereka (As}ha>bul Kahfi) adalah Maktsilimitsa pemuda yang paling besar dan pemimpin mereka, Imlikha yang paling tampan, rajin beribadat dan penuh semangat, Maktsitsa, Martus, Nawanus dan Kidastitanus. Sedangkan anjing mereka bernama Qithmir...”.Kemudian dia menyatakan: “Ka’ab berkata, mereka menjumpai anjing yang sakit-sakitan itu dijalan sedang membuntuti mereka. Berkali-kali mereka berusaha mengusir anjing itu. Kemudian anjing itu berdiri di atas kedua kakinya dan menengadahkan tangannya ke langit seperti orang yang sedang berdo’a, kemudian mengatakan: “Kalian jangan takut kepada saya, saya adalah kekasih yang paling dicintai Allah. Tidurlah, saya akan menjagamu...”.[28]Al-Tha’labi melanjutkan kisah tersebut, kemudian mengatakan: “Konon Nabi Muhammad SAW memohon untuk dipertemukan dengan pemuda-pemuda itu tetapi Allah memberikan jawaban: “Kamu tidak akan dapat menemui mereka di dunia ini. Utuslah empat orang sahabatmu yang terpilih untuk menyampaikan risalahmu dan mengajak mereka untuk beriman”.[29]Nabi bertanya kepada Jibril: Bagaimana cara mengutus mereka? Jibril menjawab: “Bentangkanlah pakaianmu dan suruhlah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk duduk di empat ujungnya. Lalu undanglah hembusan angin yang dikuasai oleh nabi Sulaiman. Allah akan menyuruhnya untuk mematuhimu, Nabi pun melakukan apa yang ditunjukkan oleh Jibril itu. Maka datanglah angin membawa keempat orang sahabat itu ke mulut gua. Batu yang menutup pintu depan gua segera terbuka. Mereka disambut oleh seorang anjing yang menggerak-gerakkan kepalanya dan mengerdipkan matanya begitu ia melihat kedatangan mereka. Dengan isyarat kepala, anjing itu mempersilakan masuk, mereka memasuki gua dan mengucapkan salam, Allah mengembalikan ruh ke dalam jasad-jasad pemuda As}ha>bul Kahfi itu. Dan setelah itu mereka juga membalas salam Nabi dan masuk Islam, kemudian menitipkan salam kembali kepada Nabi. Setelah itu mereka kembali lagi ketempat pembaringan mereka dan melanjutkan tidur mereka.[30]3. Tafsir Al-Kha>zinDiantara contoh dari kisah-kisah dalam al-Qur’an yang bersumber dari kisah-kisah dalam tafsir Al-Kha>zin seperti ketika Al-Kha>zin menafsirkan Surat al-Anbiya>’ ayat 83-84 tentang kisah nabi Ayyu>b, yakni:وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (84)[31](83) Dan (ingatlah kisah) Ayyu>b, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". (84) Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.Al-Kha>zin meriwayatkan kisah tersebut dari Wahab bin Munabbih berkata: “Ayyub adalah seorang laki-laki dari Romawi, nama lengkapnya adalah Ayyu>b bin Amos bin Narikh bin Rum bin ‘Ish bin Ihaq bin Ibrahim, ibunya adalah putri Lut bin Haran.[32]Allah telah memilih dan mengangkatnya menjadi nabi serta mengangkatnya memberinya rahmat berupa harta kekayaan. Dia memiliki lembah Balqa’ yang termasuk wilayah khawarizmi serta dataran dan pegunungan Syiria seluruhnya. Ditempat itu dia memiliki segala macam kekayaan.[33]Ayyu>b mempunyai keluarga dengan anak laki-laki dan perempuan. Ia orang yang baik hati, bertaqwa, menyantuni anak yatim, janda dan fakir miskin. Atas kemurahan hati Ayyu>b, iblis-iblis mengalami kesulitan untuk mengodanya. Iblis naik turun langit untuk menawar kepada Allah agar ia dapat mengoda sehingga jatuh imannya.Selanjutnya Al-Kha>zin menceritakan bahwa pada suatu ketika iblis mendengar suara malaikat membaca shalawat kepada Ayyu>b ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa benci dan iri, kemudian iblis naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat Ayyu>b sebagai hamba yang engkau berikan nikmat dan harta melimpah, maka wajar jika ia menyukuriMu. Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatMu, tentu dia tidak akan bersyukur lagi dan menyembahMu.” Allah menjawab “berangkatlah kamu (iblis) boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyu>b”. Kemudian iblis turun ke bumi dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun rencana penghancuran harta Ayyu>b.[34]Al-Kha>zin melanjutkan ceritanya, bahwa setelah iblis memusnahkan harta Ayyu>b, ternyata ia tidak mampu mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon kepada Allah untuk diizinkan mengabisi anak Ayyu>b. Allah menjawab “Berangkatlah, kamu (iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui Ayyu>b dan berkata “Seandainya engkau tahu penderitaan anak-anakmu dan bagaimana mereka jungkir-balik, dengan darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu akan luluh”. Ayyu>b pun menangis kemudian mengambil segenggam debu dan dituangkan di atas kepalanya sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan saya”. Tetapi kemudian Ayyu>b bertaubat dan iblis pun terheran-heran.[35]Iblis belum puas dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ayyu>b, karena iman Ayyu>b tetap tak goyah. Lalu ia kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan meminta merusak tubuh Ayyu>b. Allah menjawab “Kamu boleh menghancurkan tubuh Ayyu>b, akan tetapi kamu tidak dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi dan merusak tubuh Ayyu>b. Ketika Ayyu>b sedang bersujud, iblis meniup kedua lubang hidungnya. Tiupan itu membuat seluruh tubuh Ayyu>b terbakar. Badannya pun menjijikkan, bernanah dan bau busuk, sehingga semua orang menjauhi kecuali istrinya. Iblis kembali mengoda Ayyu>b melalui istrinya, karena Ayyu>b tidak kunjung sembuh, istrinya menawarkan Ayyu>b untuk menyembelih kambing bukan karena Allah. Seketika, Ayyu>b pun marah dan menyuruh pergi istrinya.[36]E. Kesimpulanisra>i>liya>t adalah suatu pengetahuan baik berupa riwayat ataupun kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani (ahlul kitab), yang kemudian digunakan oleh ulama’ tafsir dan hadis dalam menjelaskan nas} al-Qur’an. Isra>i>liya>t masuk dalam kitab tafsir, pada hakikatnya disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena banyaknya orang orang-orang ahlul kitab yang masuk Islam, sehingga tatkala berinteraksi dengan masyarakat Islam tak jarang dari mereka yang menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka tentang agamanya. Kedua, adanya keinginan dari orang Islam untuk mengetahui kisah-kisah orang Yahudi, Nasrani, dan lainnya yang mana dalam al-Qur’an tidak diceritakan secara rinci.Menurut al-Dhahabi> mufassir yang mempunyai perhatian besar terhadap kisah-kisah isra>i>liya>t, dan dengan sangat mencolok ia memasukkan isra>i>liya>t ke dalam tafsirnya adalah Abu> Ish}a>q Ah}mad bin Ibra>hi>m al-Tha’labi> (w 427 H.) dengan karyanya al-Kashfu wa al-Baya>n ‘an Tafsi>ri al-Qur’a>n dan ‘Ala>udi>n Abu> al-H{asan ‘Ali> bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m bin ‘Umar bin Khali<l al-Shaihi> al-Bagdadi> yang lebih terkenal dengan julukan al-Kha>zin (w 741 H.) dengan karyanya Luba>bu al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
Daftar PustakaAlfiah, Nur. “Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir; Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2010)
al-Dhahabi, Muh}ammad H}usain >. al-Isra>i>liya>t fi> Tafsi>ri wa al-H}adi>th. Kairo: Maktabah Wahbah_______al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah fi> Tafsi>ri al-Qur’a>n al-Kari>m: Dawa>fi’uha> wa Daf’uha>. Kairo: Maktabah Wahbah________.Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993al-Fairuzza>ba>di, Muh}ammad bin Ya’qu>b>. 2005. al-Qomu>s al-Muh}i>t} (Beirut: al-Risa>lahManz}u>r, Ibn. 1956. Lisa>n al-‘Arab, vol. 11. Beirut: Da>r S}a>dir.Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: AmzahSaputra, Ali Thaufan Dwi. “Studi Kitab Tafsir “Luba>b al-Ta’wi>l fi> ma’ani al-Tanzi>l (Tafsir Al-Kha>zin)”. Diakses dari www.academia.edu pada 03 Oktober 2017 (13.25).Setiawan, M. Nur Kholis. 2006 Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ PressShahbah, Muh}ammad bin Muh}ammad Abu>. 1986. al-Isra>i>liya>t wa al-Maud}u>’a>t fi> Kutubi al-Tafsi>r. Kairo: Maktabah SunnahShihab, M. Quraish. 1998. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat. Bandung: MizanUlinnuha, Muhammad. 2015. Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir. Jakarta: AzzamediaUsman, “Memahami Isra>i>liya>t dalam Penafsiran al-Qur’an” dalam Jurnal Ulinnuha, Vol. 15, No. 2 (Desember, 2011), 293.Al-Zamakhshari>. 1998. Asa>s al-Bala>gah, Vol. 1. Beitrut: Darul Kutub al-Ilmiyah
[1] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), 1.[2] Berbeda dengan zaman ketika Nabi Saw masih hidup. Semua polemik yang para sahabat alami, akan senantiasa terpecahkan ketika permasalahan itu diajukan kepada beliau. Sehingga tidak ada perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an, karena beliau sendiri yang menafsirkan. Demikian juga dengan wahyu yang tidak mereka pahami, maka Nabi Saw akan langsung menjelaskannya. Dalam hal ini, beliau sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk menjawab pelbagai problematika yang ada ataupun penafsiran wahyu yang turun. Lihat Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), 93-96.[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat (Bandung: Mizan, 1998), 75.[4] Muh}ammad H{usain al-Dhabi>, al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah fi> Tafsi>ri al-Qur’a>n al-Kari>m: Dawa>fi’uha> wa Daf’uha> (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 18-23.[5] Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, vol. 11 (Beirut: Da>r S}a>dir, 1956), 241.[6] Al-Zamakhshari>, Asa>s al-Bala>gah, Vol. 1 (Beitrut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1998.), 281.[7] Muh}ammad bin Ya’qu>b al-Fairuzza>ba>di>, al-Qomu>s al-Muh}i>t} (Beirut: al-Risa>lah, 2005), 998.[8] Ibra>hi>m Khali>fah, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r (kairo: Universitas Al-Azhar, 1996), 15; Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir (Jakarta: Azzamedia, 2015), 85.[9] Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi..., 85.[10] Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Shahbah, al-Isra>i>liya>t wa al-Maud}u>’a>t fi> Kutubi al-Tafsi>r (Kairo: Maktabah Sunnah, 1986), 12.[11] Nur Alfiah, “Israiliyyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir; Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 39.[12] Muh}ammad H}usain al-Dhahabi>, al-Isra>i>liya>t fi> Tafsi>ri wa al-H}adi>th (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 13.[13] Usman, “Memahami Isra>i>liya>t dalam Penafsiran al-Qur’an” dalam Jurnal Ulinnuha, Vol. 15, No. 2 (Desember, 2011), 293.[14] al-Dhabi>, al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah..., 25.[15] Ibid. 26.[16] al-Dhabi>, al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah..., 27.[17] al-Dhahabi>, al-Isra>i>liya>t fi> Tafsi>ri..., 58.[18] al-Dhabi>, al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah..., 27.[19] Al-Bukhari, S{ahi>h al-Bukha>ri>, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 181.[20] Ibid.[21] al-Dhabi>, al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah..., 14-15.[22] Ibid., 28.[23] Ibid.[24] al-Dhabi>, al-Ittija>ha>tu al-Munh}arifah..., 29.[25] Alquran, 7: 150.[26] Usman, Memahami Isra’iliyyat..., 306.[27] Alquran, 18: 10.[28] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), 28-29.[29] Ibid., 29.[30]Adz-Dzahabi, Penyimpangan Penyimpangan..., 29.[31] Alquran, 21: 83-84.[32]Adz-Dzahabi, Penyimpangan Penyimpangan..., 32.[33]Ibid., 32.[34]Ali Thaufan Dwi Saputra, “Studi Kitab Tafsir “Luba>b al-Ta’wi>l fi> ma’ani al-Tanzi>l (Tafsir Al-Kha>zin)”. Diakses dari www.academia.edu pada 03 Oktober 2017 (13.25).[35]Ibid.,[36] Saputra, Studi Kitab Tafsir.
0 komentar:
Posting Komentar