“Sampaikanlah apa yang kalian terima dari aku
walaupun hanya satu ayat. Ceritakan apa yang kalian
dengar dari Bani Israil, dan itu tidak ada salahnya. Barangsiapa
berdusta atas namaku maka bersiaplah untuk masuk neraka”.
لا تصدقوا أهل الكتاب ولاتكذبهم وقولوا آمنا باله وما أنزل إلينا
“Janganlah kalian benarkan orang-orang ahlul
kitab dan janganlah kalian (tergesa-gesa)
mendustakannya. Hendaklah kalian katakan kepada mereka,
kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada
kami serta kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kalian”.
Praktik semacam ini,
tidak bertahan terus secara konsisten seperti yang dilakukan sahabat. Pada masa
ta>bi’i>n tak jarang kisah isra>i>liya>t diselundupkan ke dalam
kitab-kitab tafsir. Hal ini dimulai sejak pengkodifikasian kitab tafsir yang
dipisahkan dari hadis, sehingga membentuk suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Akibatnya, kebiasaan yang dilakukan ulama dalam menulis sanad secara lengkap,
sudah tidak lagi dilakukan. Mereka meriwayatkan tafsir dari para mufassir
sebelumnya tanpa menyebutkan nama mufassir yang disebut ataupun menghilangkan
mata rantai sanadnya. Sehingga sejak saat itu riwayat-riwayat tafsir banyak
dipalsukan ataupun diselewengkan dan sulit untuk dilacak kebenarannya.
Penyelundupan isra>i>liya>t dalam kitab tafsir, pada
hakikatnya disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena banyaknya orang
orang-orang ahlul
kitab yang masuk Islam, sehingga tatkala
berinteraksi dengan masyarakat Islam tak jarang dari mereka yang menceritakan
pengalaman dan pengetahuan mereka tentang agamanya. Kedua, adanya keinginan
dari orang Islam untuk mengetahui kisah-kisah orang Yahudi, Nasrani, dan
lainnya yang mana dalam al-Qur’an tidak diceritakan secara rinci. Oleh
karenanya, banyak mufassir yang memasukkan kisah-kisah isra>i>liya>t untuk mengisi kekosongan dalam
tafsirnya, tanpa bersikap selektif dalam meriwatakannya. Akibatnya kisah-kisah
tersebut penuh dengan kisah-kisah yang bersimpang siur dan bahkan mendekati takhayyul dan khurafat.
Pada masa sesudah ta>bi’i> problem semacam ini
terus berjalan. Bahkan ada mufassir yang mempunyai perhatian lebih dan
berlebih-lebihan dalam meriwayatkan isra>i>liya>t. Kecenderungan yang
berlebihan terhadap kisah isra>i>liya>t yang pada umumnya
berisi khurafat dan bahkan
ada diantaranya yang mengingkari kesucian para nabi, kemudian berdampak pada
banyaknya kitab tafsir yang penuh dengan kisah-kisah semacam ini. Sehingga
banyak pengkaji dan peneliti tafsir yang ragu-ragu terhadap kredibilitas kisah
tersebut walaupun kenyataaan terkadang benar.
Menurut al-Dhahabi> mufassir yang
mempunyai perhatian besar terhadap kisah-kisah isra>i>liya>t, dan dengan sangat mencolok ia
memasukkan isra>i>liya>t ke dalam tafsirnya adalah Abu> Ish}a>q Ah}mad bin
Ibra>hi>m al-Tha’labi> (w 427 H.) dengan karyanya al-Kashfu wa
al-Baya>n ‘an Tafsi>ri al-Qur’a>n dan ‘Ala>udi>n Abu>
al-H{asan ‘Ali> bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m bin ‘Umar bin Khali<l
al-Shaihi> al-Bagdadi> yang lebih terkenal dengan julukan al-Kha>zin (w 741 H.) dengan
karyanya Luba>bu al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
Kedua mufassir itu
adalah sebagian saja yang dalam tafsirnya memasukkan isra>i>liya>t, namun diantara sekian
mufassir masih banyak yang dalam tafsirnya menggunakan riwayat isra>i>liya>t, yang mana dalam hal ini tidak
akan lepas dari penyimpangan dan penyelewengan.
D.
Contoh Penyimpangan dalam Tafsir
Berikut merupakan contoh penyimpangan dalam tafsir yang
disebabkan karena kesalahan mufassir dalam menerima informasi dari luar (Islam)
ataupun kisah-kisah isra>’iliyya>t.
1. Tafsir Al-Thabari
Diantara ulama yang menampilkan isra>’iliyya>t untuk menafsirkan ayat tersebut adalah Ibn
Jari>r Al-Thabari. Misalnya, isra>’iliyya>t yang digunakan untuk menafsirkan firman Allah dalam surat al-A‘raf
ayat 150:
وَلَمَّا
رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي
مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ
وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ
اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا
تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya
dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan
yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji
Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut)
kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata:
"Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir
mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira
melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang
zalim".
Riwayat itu diterimanya dari Basyr Ibn Mu’a>dz dari Yazi>d, dari Sa‘i>d, dari Qata>dah, ia mengatakan bahwa ayat di atas di
antaranya berbicara tentang kemarahan Nabi Musa yang diekspresikan dengan cara
melempar alwâh (kitab suci). Kemarahan
Nabi Musa menurut riwayat itu disebabkan iri dan merasa kecewa, setelah membaca
alwa>h tersebut, terhadap keunggulan-keunggulan umat Nabi
Muhammad sebagai umat terbaik, terakhir diciptakan dan paling awal akan masuk
surga, serta keunggulan lainnya. Dalam
riwayat itu diceritakan bahwa Nabi Musa “merengek-rengek” agar umatnya
pun diberi keunggulan sambil melemparkan alwa>h tersebut.
2.
Tafsir Al-Tha’labi
Menurut
al-Dhahabi>
penafsiran kalangan ahli sejarah terdapat kerancuan dan menyimpang, salah
satunya adalah penafsiran dari Abu Isha>q Ahmad bin Muhammad bin Ibrahi>m Al-Tha’labi dalam bukunya Al-Kashfu wal
Baya>nu ‘an Tafsi>ril Qur’an.
Contoh dari kisah yang diungkapkan Al-Tha’labi
dalam buku
tafsirnya, yakni dalam menafsirkan surat al-Kahfi ayat 10:
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا
مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke
dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada
kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan
kami (ini)".
Al-Tha’labi meriwayatkan kisah ini dari Saydi , Wahab bin Munabbih dan
lain-lainnya sebagai berikut: “...nama-nama mereka (As}ha>bul
Kahfi) adalah
Maktsilimitsa pemuda yang paling besar dan pemimpin mereka, Imlikha yang paling
tampan, rajin beribadat dan penuh semangat, Maktsitsa, Martus, Nawanus dan
Kidastitanus. Sedangkan anjing mereka bernama Qithmir...”.
Kemudian dia
menyatakan: “Ka’ab berkata, mereka menjumpai anjing yang sakit-sakitan itu
dijalan sedang membuntuti mereka. Berkali-kali mereka berusaha mengusir anjing
itu. Kemudian anjing itu berdiri di atas kedua kakinya dan menengadahkan
tangannya ke langit seperti orang yang sedang berdo’a, kemudian mengatakan:
“Kalian jangan takut kepada saya, saya adalah kekasih yang paling dicintai
Allah. Tidurlah, saya akan menjagamu...”.
Al-Tha’labi melanjutkan kisah tersebut, kemudian mengatakan: “Konon Nabi
Muhammad SAW memohon untuk dipertemukan dengan pemuda-pemuda itu tetapi Allah
memberikan jawaban: “Kamu tidak akan dapat menemui mereka di dunia ini. Utuslah
empat orang sahabatmu yang terpilih untuk menyampaikan risalahmu dan mengajak
mereka untuk beriman”.
Nabi bertanya
kepada Jibril: Bagaimana cara mengutus mereka? Jibril menjawab: “Bentangkanlah
pakaianmu dan suruhlah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk duduk di empat
ujungnya. Lalu undanglah hembusan angin yang dikuasai oleh nabi Sulaiman. Allah
akan menyuruhnya untuk mematuhimu, Nabi pun melakukan apa yang ditunjukkan oleh
Jibril itu. Maka datanglah angin membawa keempat orang sahabat itu ke mulut
gua. Batu yang menutup pintu depan gua segera terbuka. Mereka disambut oleh
seorang anjing yang menggerak-gerakkan kepalanya dan mengerdipkan matanya
begitu ia melihat kedatangan mereka. Dengan isyarat kepala, anjing itu
mempersilakan masuk, mereka memasuki gua dan mengucapkan salam, Allah
mengembalikan ruh ke dalam jasad-jasad pemuda As}ha>bul
Kahfi itu. Dan
setelah itu mereka juga membalas salam Nabi dan masuk Islam, kemudian
menitipkan salam kembali kepada Nabi. Setelah itu mereka kembali lagi ketempat
pembaringan mereka dan melanjutkan tidur mereka.
3. Tafsir Al-Kha>zin
Diantara contoh dari kisah-kisah dalam al-Qur’an yang bersumber dari
kisah-kisah dalam tafsir Al-Kha>zin seperti ketika Al-Kha>zin menafsirkan
Surat al-Anbiya>’
ayat 83-84 tentang kisah nabi Ayyu>b, yakni:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ
أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ
وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى
لِلْعَابِدِينَ (84)
(83)
Dan (ingatlah kisah) Ayyu>b, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku),
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang". (84) Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan
penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami
lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk
menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.
Al-Kha>zin
meriwayatkan
kisah tersebut dari Wahab bin Munabbih berkata: “Ayyub adalah seorang laki-laki
dari Romawi, nama lengkapnya adalah Ayyu>b bin
Amos bin Narikh bin Rum bin ‘Ish bin Ihaq bin Ibrahim, ibunya adalah putri Lut
bin Haran.
Allah telah memilih dan mengangkatnya menjadi nabi serta
mengangkatnya memberinya rahmat berupa harta kekayaan. Dia memiliki lembah
Balqa’ yang termasuk wilayah khawarizmi serta dataran dan pegunungan Syiria
seluruhnya. Ditempat itu dia memiliki segala macam kekayaan.
Ayyu>b mempunyai keluarga dengan anak laki-laki dan perempuan. Ia
orang yang baik hati, bertaqwa, menyantuni anak yatim, janda dan fakir miskin.
Atas kemurahan hati Ayyu>b,
iblis-iblis mengalami kesulitan untuk mengodanya. Iblis naik turun langit untuk
menawar kepada Allah agar ia dapat mengoda sehingga jatuh imannya.
Selanjutnya
Al-Kha>zin menceritakan bahwa pada
suatu ketika iblis mendengar suara malaikat membaca shalawat kepada Ayyu>b
ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa benci dan iri, kemudian
iblis naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat Ayyu>b
sebagai hamba yang engkau berikan nikmat dan harta melimpah, maka wajar jika ia
menyukuriMu. Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatMu, tentu dia
tidak akan bersyukur lagi dan menyembahMu.” Allah menjawab “berangkatlah kamu
(iblis) boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyu>b”.
Kemudian iblis turun ke bumi dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun
rencana penghancuran harta Ayyu>b.
Al-Kha>zin
melanjutkan ceritanya, bahwa setelah
iblis memusnahkan harta Ayyu>b, ternyata ia tidak
mampu mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon kepada
Allah untuk diizinkan mengabisi anak Ayyu>b. Allah menjawab
“Berangkatlah, kamu (iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui
Ayyu>b
dan berkata “Seandainya engkau tahu penderitaan anak-anakmu dan bagaimana
mereka jungkir-balik, dengan darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu
akan luluh”. Ayyu>b
pun menangis kemudian mengambil segenggam debu dan dituangkan di atas kepalanya
sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan saya”. Tetapi kemudian Ayyu>b
bertaubat dan iblis pun terheran-heran.
Iblis
belum puas dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ayyu>b,
karena iman Ayyu>b
tetap tak goyah. Lalu ia kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan
meminta merusak tubuh Ayyu>b. Allah menjawab “Kamu
boleh menghancurkan tubuh Ayyu>b, akan tetapi kamu
tidak dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi dan merusak
tubuh Ayyu>b. Ketika Ayyu>b
sedang bersujud, iblis meniup kedua lubang hidungnya. Tiupan itu membuat
seluruh tubuh Ayyu>b
terbakar. Badannya pun menjijikkan, bernanah dan bau busuk, sehingga semua
orang menjauhi kecuali istrinya. Iblis kembali mengoda Ayyu>b
melalui istrinya, karena Ayyu>b tidak kunjung sembuh,
istrinya menawarkan Ayyu>b
untuk menyembelih kambing bukan karena Allah. Seketika, Ayyu>b
pun marah dan menyuruh pergi istrinya.
E.
Kesimpulan
isra>i>liya>t adalah suatu
pengetahuan baik berupa riwayat
ataupun kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani (ahlul kitab), yang
kemudian digunakan oleh ulama’ tafsir
dan hadis dalam menjelaskan nas} al-Qur’an. Isra>i>liya>t masuk dalam kitab tafsir, pada
hakikatnya disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena banyaknya orang
orang-orang ahlul
kitab yang masuk Islam, sehingga tatkala
berinteraksi dengan masyarakat Islam tak jarang dari mereka yang menceritakan
pengalaman dan pengetahuan mereka tentang agamanya. Kedua, adanya keinginan
dari orang Islam untuk mengetahui kisah-kisah orang Yahudi, Nasrani, dan
lainnya yang mana dalam al-Qur’an tidak diceritakan secara rinci.
Menurut al-Dhahabi> mufassir yang
mempunyai perhatian besar terhadap kisah-kisah isra>i>liya>t, dan dengan sangat mencolok ia
memasukkan isra>i>liya>t ke dalam tafsirnya adalah Abu> Ish}a>q Ah}mad bin
Ibra>hi>m al-Tha’labi> (w 427 H.) dengan karyanya al-Kashfu wa
al-Baya>n ‘an Tafsi>ri al-Qur’a>n dan ‘Ala>udi>n Abu>
al-H{asan ‘Ali> bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m bin ‘Umar bin Khali<l
al-Shaihi> al-Bagdadi> yang lebih terkenal dengan julukan al-Kha>zin (w 741 H.) dengan
karyanya Luba>bu al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.
0 komentar:
Posting Komentar