SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAFSIR
DI INDONESIA
Oleh :
Mochammad Abdullah
A.
Latar Belakang
Penyebaran Islam di Indonesia dari awal munculnya sampai saat ini
tidak lepas dari peranan al-Qur’an dan Hadis. Keduanya merupakan sumber hukum
islam yang menjadi rujukan umat muslim dalam menetapkan suatu hukum. Tidak
dapat dipungkiri jika dalam memahami keduanya terdapat kesulitan dan kesukaran,
terutama dalam menafsirkan al-Qur’an yang bersifat universal dan global. Maka
dengan demikian perlu adanya penafsiran al-Qur’an untuk memudahkan umat muslim
dalam memahaminya, sehingga dapat diamalkan dengan baik dan benar.
Upaya penafsiran tersebut telah dimulai sejak Islam diturunkan, dan
yang bertindak sebagai penafsir al-Qur’an pertama adalah Nabi Muhammad Saw.
Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan para ulama yang
datang setelah mereka sampai saat ini.
Sehingga banyak bermuculan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh mufasir-mufasir terkenal seperti, Ibnu Kathi>r dengan karyanya tafsir al-Qur’an Al-Az{im, Abu> Ja’far
Muh{ammad bin Jarir al-T{abbari karyanya tafsir
Tabbari, Sayyid Qut}ub
karyanya tafsir Fi> Z{ila>lil al-Qur’an, Ah{mad Must}afa> al-Maraghi> karyanya tafsir Al-Maraghi,
dan lain sebagainya.
Penafsiran al-Qur’an juga terjadi di Indonesia, karena Negara ini
merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar. Hal ini tentu
juga mempunyai korelasi signifikan dengan kebutuhan akan pemahaman al-Qur’an
sebagai pedoman utama dalam kehidupan umat muslim. Indonesia yang terkenal
sebagai bangsa yang ramah, suka menolong, dan senang terhadap tamu yang
berkunjung, maka dengan kondisi psikologis seperti ini akan tampak mudah dalam
menerima ajaran atau keyakinan-keyakinan baru yang dibawa oleh ulama-ulama
tanpa perlu telebih dahulu melakukan penelitian dan penyelidikan dengan cermat
tentang keabsahan atau kevalidan ajaran tersebut.
Kondisi jiwa mereka yang demikian sangat afektif dalam dalam upaya pertumbuhan
dan perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia sebagaimana yang akan dibahas
dalam makalah ini.
B.
Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Perhatian dan usaha mempelajari al-Qur’an tidak hanya terjadi pada
umat Islam di Negara-negara Islam, seperti Mekkah, Madinah, dan Irak tetapi
terjadi diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Bersamaan dengan
proses masuknya Islam di Indonesia para
ulama dan juru dakwah mengenalkan al-Qur’an kepada masyarakat Indonesia.
Dengan kondisi bangsa Indonesia yang terkenal dengan keramahannya memudahkan
Islam masuk ke Indonesia, sehingga kehadiran Islam di Indonesia tidak pernah
mengalami penolakan , bahkan mereka ikut tertarik untuk menyebarkannya. Kondisi
serupa ini juga terlihat dalam menerima
tafsir dari kitab suci al-Qur’an. Hal ini dapat dibuktikan dengan menculnya
tafsir al-Qur’an yang terkadang jauh dari kebenaran. Semua itu tidak
dipermasalahkan oleh bangsa indonesia, malah diantara mereka ada yang
mempercayainya dan mengembangkannya.
Analisa Mahmud Yunus mengenai sistem pendidikan Islam pertama di
Indonesia menunjukkan bagaimana al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap
muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian al-Qur’an” di surau,
langgar, dan masjid. Bahkan beliau mengeklaim bahwa pendidikan al-Qur’an waktu
itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak, sebelum
diajarkan praktik-praktik ibadah. Upaya mempelajari al-Qur’an pada tahap
selanjutnya adalah dengan mempelajari konsep tertentu dari al-Qur’an. Kemudian
mempelajari tafsir dan ‘ulum al-Qur’an yang pada awalnya dalam bentuk
penjelasan lisan. Lama kelamaan mulai muncul para ulama yang menulis
karya-karya tafsir dalam bentuk tertulis, baik dalam bentuk terjemahan, maupun karya tafsir mandiri.
Perkembangan penafsiran di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di
Arab yang merupakan tempat turunnya al-Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran
tafsir al-Qur’an. Penyebab perbedaan tersebut terutama pada latar belakang
budaya dan bahasa. Kajian tafsir di Arab berkembang dengan cepat dan pesat,
karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengalami
kesulitan untuk memahami al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia
yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab.
Proses pemahaman al-Qur’an di Indonesia terlebih dahulu dimulai
dengan penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia baru kemudian
dilanjutkan dengan penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, maka
dapat dipahami jika penafsiran al-Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih
lama jika dibandingkan dengan ditempat asalnya.
Sejak pertama Islam masuk ke Aceh pada tahun 1920 M, pengajaran
Islam mulai lahir dan tumbuh serta pengajian al-Qur’an tampak cukup meyakinkan.
Merujuk pada naskah-naskah yang ditulis ulama Aceh, dapat di pahami bahwa pada
abad ke-16 M telah muncul upaya penafsiran al-Qur’an yang dapat diketahui
dengan penemuan sepenggal naskah tafsir
al-Qur’an surah al-Kahfi (18):9, yang tidak diketahui penulisnya.
Diduga naskah tersebut ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar
Muda, yang mana ketika itu mufti kesultanannya adalah Syamsuddin al-Sumatrani,
atau mungkin sebelumnya, Sultan ‘Ala al-din Ri’ayat syah Sayyid al-Mukammil,
dimana mufti kesultanannya adalah Hamzah al-Fansuri. Satu abad kemudian muncul Abdur Rauf
al-singkili seorang ulama terkemuka di Aceh
menulis tafsir lengkap yang bejudul Tarjuman al-Mustafid.
Dengan karyanya tersebut beliau, merupakan seorang alim pertama di dunia Melayu
yang berjasa menulis tafsir al-Qur’an lengkap dalam bahasa melayu.
Perkembangan kajian tafsir pasca Abdur Rauf al-Singkili terus
berlangsung. Namun tidak ada karya tafsir yang populer dikalangan penulis
muslim Melayu setelah itu kecuali karya Syekh Nawawi al-Bantani yang berjudul Mar’ah
Labid atau Tafsir al-Munir. Memasuki abad ke-20 kajian tafsir terus
berkembang, dalam periode ini lahir beberapa tafsir karya mufassir Indonesia
mulai dari Mahmud Yunus, Hamka Hingga M. Quraish Shihab dengan ragam metode dan
corak yang semakin berkembang.
C.
Periodeisasi Perkembangan Tafsir Di Indonesia
Berdasarkan kondisi yang demikian tafsir al-Qur’an di Indonesia
dapat dibagi menjadi berapa periode.
Pertama periode klasik, kedua periode, pertengahan, ketiga periode pramodern,
dan keempat periode modern sampai sekarang. Pada keempat peridode ini perlu
dikaji kondisi penafsirannya secara rinci sehingga ketiga aspek pokok dalam
tafsir al-Qur’an, yaitu bentuk, metode,
dan corak tafsir dapat diketahui. Dengan demikian, akan tampak jati diri tafsir
al-Qur’an pada setiap periode.
1.
Periode Klasik (Abad 7-15 M)
Periode klasik adalah periode dimana sejak permulaan Islam sampai
ke Indonesia pada abad ke-1/2 sampai abad ke-10 H (7-15 M.). karena pada abad
inilah cikal bakal bagi perkembangan tafsir pada masa-masa sesudahnya. Usaha
memahami al-Qur’an dalam bahasa setempat telah dimulai, namun penafsiran yang
ada masih belum tertulis.
a.
Bentuk Tafsir
Penafsiran pada periode ini boleh
dikatakan belum menampakkan bentuk tertentu yang mengacu pada al-ma’thu>r atau al-ra’yu karena masih bersifat umum. Hal ini disebabkan oleh kondisi
kehidupan ditengah masyarakat, yang diketahui pada saat itu umat Islam
Indonesia belum menjadi komunitas muslim dalam arti sesungguhnya. Karena pada
saat itu masyarakat Islam dapat dikatakan sebagai periode Islamisme, yang pada
mulanya bangsa Indonseia menganut (kepercayaan) animisme menjadi penganut
Islam.
Kondisi yang demikian, jelas tidak
memungkinkan jika memberikan tafsir al-Qur’an dalam bentuk tertentu, karena
pada umumnya mereka masih mu’alaf. Jika dirasa perlu memberikan istilah
terhadap tafsir pada masa ini, dapat disebut sebagai tafsir berbentuk embriotik integral. Artinya, tafsir al-Qur’an
diberikan secara integral bersamaan dengan bidang lain, seperti tauhid,
tasawuf, fiqh, dan lain-lain, yang disajikan secara praksis dalam bentuk
amaliyah sehari-hari.
Contoh populer adalah istilah molimo
yang dikemukakan oleh Sunan Ampel dalam bahasa jawa yang berarti emoh main (tidak
berjudi), emoh ngombe (tidak minum-minuman keras), emoh madat (tidak
mau menghisap candu atau narkoba), emoh maling (tidak mencuri), dan emoh
madon (tidak main perempuan dan berzina), yang mana semuanya merupakan
tafsir dari surah al-Maidah ayat 38,39, 90, dan al-Isra’ ayat 32.
b.
Metode Tafsir
Dari keempat metode tafsir yang dikenal dalam tafsir al-Qur’an
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farmawi yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan
Maudu’i.
maka pada periode ini mengisyaratkan metode tafsir yang dipakai adalah metode Ijamli
(global). Meskipun belum sepenuhnya mengikuti metode tersebut, sebab proses
penafsiranya dilakukan secara sederhana dan global itupun diterapkan secara
lisan, tidak dengan tulisan.
c.
Corak Tafsir
Jika diamati secara seksama, tafsir al-Qur’an yang diterapkan oleh
ulama pada periode klasik ini, dari sudut coraknya dapat dikatakan bersifat
umum. Artinya, penafsiran yang diberikan tidak didominasi oleh suatu warna dan
pemikiran tertentu, tetapi menjelaskan ayat-ayat yang dibutuhkan secara umum
dan proposional, misalnya ayat tentang hukum-hukum fiqh dijelaskan jika terjadi
kasus-kasus fiqhiyyah, seperti salat, zakat, dan puasa. Maka dengan demikian,
corak penafsiran yang diberikan pada masa ini, hakikatnya menganut corak umum,
tidak mengacu pada suatu corak tertentu.
2.
Periode Pertengahan (Abad 16-18 M)
Memasuki abad ke-16 tafsir al-Qur’an pada masa ini lebi berkembang
dan lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena tidak didasarkan
pada kekuatan ingatan semata sebagaimana pada periode klasik. Pada masa ini
telah memiliki buku pegangan yang representatif dari ahi tafsir yang kompeten
dan professional.
Bepijak dari kenyataan itu, tidak salah jika disimpulkan bahwa
tafsir a-Qur’an di Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode ini.
Sementara pada periode sebelumnya belum dapat disebut permulaan upaya tafsir
al-Qur’an karena pada saai itu cara menafsirkan al-Qur’an masih bercampur aduk
secara integral dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti fiqh, tauhid, tasawuf, dan
teologi.
a.
Bentuk Tafsir
Berdasarkan data yang ada, tampak bahwa bentuk penafsiran al-Qur’an
pada masa ini adalah berbentuk al-ra’yu (pemikiran). Karena upaya yang dilakukan ulama saat itu adalah
membaca dan memahami tafsir tertulis yang datang dari arab, seperti kitab Al-Jalalain
yang dibacakan kepada murid-murid lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid
(Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya). Sementara bentuk al-ma’thu>r boleh
dikatakan tidak begitu populer, bahkan boleh disebut tidak masuk ke Indonesia
pada waktu itu.
Namun meskipun penafsiranya berbentuk rasional, penafsir tidak
terhalang memakai riwayat seperti hadis-hadis Nabi Saw. Keberadaan hadis
didalam tafsir yang berbentuk rasional seperti itu hanya sebatas legitimisasi
terhadap pemikiran dan ide yang dikemukakannya.
b.
Metode Tafsir
Metode tafsir yang diterapkan tidak berbeda dengan metode tafsir
yang dipakai pada periode klasik, yaitu metode ijmali (global), tetapi
cara penyampaianya telah meningkat. Jika pada periode yang lalu sepenuhnya
disampaikan secara lisan, dari mulut ke mulut, tanpa menggunakan sarana atau
bahan bacaan, maka pada periode ini teknik penyampainnya dilengkapi dengan
kitab.
c.
Corak Tafsir
Corak atau dominasi tafsir pada periode ini masih bersifat umum
tidak mengacu pada pemikiran tertentu. Meskipun demikian, pada periode ini penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui
penelaahan terhadap buku teks yang dikaji. Jadi, corak penafsirannya yang
dikaji adalah corak yang mendominasi pada kitab yang mereka baca.
3.
Periode Pramodern (Abad 19 M)
Tafsir al-Qur’an pada pada periode pramodern ini tidak jauh berbeda
dengan yang dilakukan pada periode tengah. Jadi, secara subtansial tafsir
mereka sama karena sama-sama memakai satu kitab, yang pada saat itu kitab yang
dipakai adalah Al-Jalalain dalam pengajaran tafsir kepada anak didik
baik murid maupun santri. Dengan demikian, wawasan tafsir al-Qur’an di seluruh
Indonesia berada pada level yang sama.
Meskipun buku yang dipelajari di periode ini sama dengan buku yang
dipelajari pada periode lalu, akan tetapi teknik penyampaian dan sarananya
tampak lebih maju. Kalau di periode yang lalu penerjemahan yang dilakukan belum
tertulis, pada periode ini telah ditulis. Demikian juga tempat dan sistem
pengajiannya dibuat semacam halaqah dan guru berada di tengah, yang mana
sistem seperti ini sebelumnya tidak begitu populer.
Jika diamati lebih mendalam, perkembangan pemikiran tafsir tidak
tampak mencolok, kitab yang dipakai sama dengan kitab tafsir yang biasa
digunakan, yaitu kitab tafsir Al-Jalalain. Hanya saja pada masa ini
telah meningkat kepada syarah terhadap tafsir tersebut sesuai dengan
kebutuhan anak didik. Jika diperrhatikan dari sudut bentuk, metode, dan corak
penafasiran, tampak masih tetap berupa al-ra’yu (pemikiran),
metode dan coraknya pun sama.
Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa perkembangan
tafsir al-Qur’an di Indonesia sampai abad ke-19 M itu masih belum menggembirakan,
atau dengan kata lain tafsir al-Qur’an sampai periode itu masih belum dapat
diandalkan untuk membimbing umat ke arah suatu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
secara menyeluruh dan tuntas. Amat logis jika di Indonesia sampai abad ke-19 M
tidak lahir mufasir-mufasir dalam arti yang sesungguhnya karena mereka hanya
diperkenalkan dengan satu kitab saja, yaitu Al-Jalalain, sementara kitab
lainnya, seperti kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang sudah ada pada
saat itu tidak begitu populer dikalangan pesantren pada umumnya.
Maka berdasarkan hal itu, tidak aneh jika tafsir al-Qur’an kurang
berkembang di negeri Indonesia sejak dulu sampai pertengahan abad ke-20 ini.
Baru setelah memasuki paruh kedua abad ke-20 tampak penafsiran al-Qur’an mulai
bergerak agak lebih cepat berkembang dan cukup menggembirakan.
4.
Periode Modern (Abad 20)
Pada abad ini disebut periode modern dalam perkembangan tafsir di
Indonesia karena abad ini memberikan kontribusi yang cukup menggembirakan dalam
upaya penafsiran al-Qur’an jika dibandingkan dengan abad-abad sebelumya. Maka,
untuk memudahkan analisis dalam membahas perkembangan tafsir, dibagi menjadi
tiga periode.
a.
Periode Pertama (1900-1950)
Dalam periode pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak
dalam model dan teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks
al-Qur’an yang menjadi objek tafsir, litaratur pada periode ini cukup beragam.
Pertama, ada yang berkosentrasi pada surah-surah tertentu sebai objek penafsirannya.
Misalnya Tafsir al-Qur’an Karim Yasin karya Adnan Yahya lubis. Kedua,
karya tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu, dimana yang menjadi
penafsiran adalah juz ke-30 (Juz ‘Amma. Contoh dari model ini adalah Al-Burhan,
Tafsir Juz ‘Amma karya H. Abdul Karim Amrullah. Ketiga, ada yang
menafsirkan a-Qur’an 30 juz, yaitu Tafsir Qur’an Karim karya H. Mahmud
Yunus yang untuk pertama kalinya diselesaikan pada tahun 1938.
b.
Periode Kedua (1951-1980-an)
Beberapa model teknis penyajian dan objek tafsir dalam periode
pertama juga masih muncul pada periode ini. Literatur tafsir yang mengarahkan
objek tafsiranya pada surah tertentu masah dapat ditemukan. Misalnya, karya
tafsir yang mengkhususkan pada surah al-Fatihah, yaitu Samudra al-Fatihah karya
Ben Arifin. Adapaun dalam bentuk tafsir lengkap 30 juz seperti Tarjemah dan Tafsir Al-Qur’an karya;
Huruf Arab dan Latin karya Bachtiar Surin.
Perkembangan baru yang tejadi di periode ini, dimana muncul karya
tafsir yang berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum, seperti Ayat-ayat Hukum,
Tafsir dan Uraian-uraian Perintah dalam Al-Qur’an karya Dahlan Saleh, dan
lain sebagainya.
c.
Periode Ketiga (1990-an – 2000)
Pada periode ketiga, proses kreatif penulisan tafsir terus
mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam periode ini muncul beragam tafsir
dari para intelektual Muslim Indonesia. Setidaknya ada 24 karya tafsir yang
muncul dengan beragam metode dan corak. Namun yang terlihat mendominasi perode
ini adalah tafsir dengan model tematik. Sebagian diatantaranya merespon
perkembangan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti persoalan
gender, perkembangan politik, hubugan dengan non muslim, dan lain-lain.
Beberapa karya tafsir yang muncul pada periode ini, seperti Konsep Kufr
dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis karya
Harifuddin Cawidu, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Pelbagai Persoalan
Umat karya M. Quraish Shihab, hingga Tafsir Al-Misbah yang merupakan
tafsir 30 juz karyanya.
Keseluruhan karya tafsir yang ada pada periode ketiga ini,
mencerminkan adanya keragaman model teknis penulisan tafsir serta metodologi
tafsir yang digunakan. Hal ini merupakan salah satu arah yang memperlihatkan
adanya trend-trend baru yang unik dalam proses penulisan karya tafsir pada
tahun 1990-an.
D.
Karya Tafsir di Indonesia
Dalam hal ini, paling tidak ada empat bentuk karya tafsir yang
berkembang di Indonesia yaitu tarjemah, tafsir kosentrasi pada surah atau juz
tertentu, tafsir tematik, dan tafsir lengkap 30 juz.
1.
Terjemah
Terjemah al-Qur’an dalam pembahasan ini dimasukkan kedalam karya
tafsir, karena pada dasarrnya terjemah juga melibatkan unsurtafsir yanti
pemahaman dan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun dalam bentuk
yang sederhana, akan tetapi didalamnya juga disertai dengan catatan-catatan
kaki tentang makna suatu ayat. Selain itu terjemah juga berperan penting dalam
pemahaman umat Islam terhadap al-Qur’an di Indonesia.
Karya terjemah yang dihasilkan antara lain Al-Qur’an dan Terjemahanya
oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI tahun
1967, Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh redaksi Penerbit Bahrul Ulum
pimpinan H, Bachtiar Surin, Al-Qur’an Bacaan Mulia tahun 1997 oleh Dr.
H. B. Jassin, dan AL-Qur’an dan Maknanya oleh M. Quraish Shihab.
2.
Tafsir yang kosentrasi pada urah atau juz tertentu
Surah yang menjadi kecenderungan umum untuk ditafsirkan antara lain
surah al-Fatihah, Yasin dan Juz ‘Amma (juz ke-30). Hal ini dapat dimaklumi,
karena surah-surah tersebut merupak surah yang cukup familiar bagi masyarakat
Indonesia.
Karya tafsir yang memfokuskan pada surah al-Fatihah antara lain
adalah Tafsir Al-Qur’anul Karim Surat Al-Fatihah karya Muhammad Nur
Idris (Jakarta: Widjaja, 1995), Rahasia Ulumul Qur’an atau Tafsir
Surat Al-Fatihah karya A. Bachry (Jakarta: Institute Indonesia, 1956), Kandungan
Al-Fatihah karya Bahroem Rangkuti (Jakarta: Pustaka Islam, 1960), dan
Tafsir Surat Al-Fatihah karya H. Hasri (Cirebon: Toko Mesir, 1960).
Karya tafsir yang memfokuskan pada surah Yasin, antara lain Tafsir
Al-Qur’anul Karim, Yasin karya Adnan Lubis (Medan: Islamiyah, 1951), Tafsir
Surat Yasin dengan Keterangan karya A. Hassan (Bangil: Persis, 1951), Tafsir
surah Yasin karya Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Kandugan
Surat Yasin karya Mahfudi Suhli (t.t: Yulia Karya, 1978).
Karya tafsir yang memfokuskan pada juz ‘amma, antara lain Al-Burhan:
Tafsir Juz Amma karya H. Abdul Karim Amrullah (Padang: al-Munir, 1930), Al-Hidayah
Tafsir Juz Amma karya A. Hassan (Bandunga: al-Ma’arif, 1930), Tafsir Juz
Amma karya Adnan yahya Lubis (Medan: Islamiyah, 1954).
Karya lain yang memfokuskan diri pada ayat dan surah tertentu,
antara lain Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral Al-Qur’an karya Jalaluddin
Rakhmat (1993), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (1997) dan Tafsir
Al-Lubab (2012) Karya M. Quraish
Shihab, dan Tafsir Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat An Nisa’ Karya
KH. Didin Hafidhuddin (Jakarta: Logos, 2000).
3.
Tafsir Tematik
Ada dua model karya tafsir tematik yang berkembang di Indonesia
yaitu tematik plural yang membahas berbagai tema persoalan dan tematik singular
yang membahas satu topik bahasan tertentu. Karya tafsir tematik plural antara
lain adalah Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehiduan
Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994), Wawasan
Al-Qur’an (1996), Membumikan Al-Qur’an
karya M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an karya M. Dewam
Raharjo (Jakarta: Paramadina, 1996), dan Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang
Hubungan Sosial antar Ummat Beragama karya Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemkiran Islam PP Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka SM, 2009).
Sedangkan karya tafsir tematik yang singular antara lain adalah Konsep
Kufr dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya
Harifuddin Cawidu, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an sebuah Kajian
Tematik karya Jalaluddin Rahman, Wawasan Al-Qur’an tentang Dzikir dan
Doa; Asma al-Husna: Perspektif Al-Qur’an, Jin dalam Al-Qur’an, Malaikat dalam
Al-Qur’an, dan Syetan dalam Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.
4.
Tafsir Lengkap 30 Juz
a.
Tarjuman Mustafid karya
Abdul Ra’uf al-Singkel
b.
Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil karya Syeikh Nawawi al-Bantani
c.
Tafsir Al-Furqan karya
A. Hassan
d.
Tafsir Qur’an Karim karya
Mahmud Yunus
e.
Faydh al-Rahman karya
Muhammad Shaleh B. ‘Umar al-Samarani
f.
Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan karya T.M Hasbi ash Shiddieqy
g.
Tafsir Al-Azhar karya
H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
h.
Al-Qur’an dan Tafsirnya disusun Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII)
i.
Tafsir Al-Misbah karya
M.Quraish Shihab
E.
Kesimpulan
Kajian tafsir di Indonesia pada pada dasarnya mengalami kemajuan
yang cukup pesat. Berbagai karya tafsir telah dihasilkan oleh para intelektual
muslim Indonesia dengan menggunakan metode dan corak yang cukup beragam, mulai
dari bentuk ijmali, hingga maudu’i, mulai dari bentuk tafsir yang
sederhana, hingga bentuk yang dianggap telah memenuhi kriteria tafsir modern.
Dari berbagai model tafsir yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kajian
tafsir di Indonesia semakin lama semakin menunjukkan perkembangan yang cukup
membagakan. Sekaligus menunjukkan bahwa minat terhadap kajian tafsir di Indonesia
cukup tinggi.
Daftar Pustaka
Muzammil,
Iffah “Studi Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Al-Afkar, Vol. 17 (Juli,
2006)
Taufikurrahman,
“Kajian Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Mutawatir, Vol. 3, No. 1
(Januari,
0 komentar:
Posting Komentar