SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAFSIRDI INDONESIAOleh :Mochammad Abdullah
A. Latar BelakangPenyebaran Islam di Indonesia dari awal munculnya sampai saat ini tidak lepas dari peranan al-Qur’an dan Hadis. Keduanya merupakan sumber hukum islam yang menjadi rujukan umat muslim dalam menetapkan suatu hukum. Tidak dapat dipungkiri jika dalam memahami keduanya terdapat kesulitan dan kesukaran, terutama dalam menafsirkan al-Qur’an yang bersifat universal dan global. Maka dengan demikian perlu adanya penafsiran al-Qur’an untuk memudahkan umat muslim dalam memahaminya, sehingga dapat diamalkan dengan baik dan benar.
Upaya penafsiran tersebut telah dimulai sejak Islam diturunkan, dan yang bertindak sebagai penafsir al-Qur’an pertama adalah Nabi Muhammad Saw. Kemudian dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan para ulama yang datang setelah mereka sampai saat ini.[1] Sehingga banyak bermuculan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh mufasir-mufasir terkenal seperti, Ibnu Kathi>r dengan karyanya tafsir al-Qur’an Al-Az{im, Abu> Ja’far Muh{ammad bin Jarir al-T{abbari karyanya tafsir Tabbari, Sayyid Qut}ub karyanya tafsir Fi> Z{ila>lil al-Qur’an, Ah{mad Must}afa> al-Maraghi> karyanya tafsir Al-Maraghi, dan lain sebagainya.Penafsiran al-Qur’an juga terjadi di Indonesia, karena Negara ini merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar. Hal ini tentu juga mempunyai korelasi signifikan dengan kebutuhan akan pemahaman al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam kehidupan umat muslim. Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang ramah, suka menolong, dan senang terhadap tamu yang berkunjung, maka dengan kondisi psikologis seperti ini akan tampak mudah dalam menerima ajaran atau keyakinan-keyakinan baru yang dibawa oleh ulama-ulama tanpa perlu telebih dahulu melakukan penelitian dan penyelidikan dengan cermat tentang keabsahan atau kevalidan ajaran tersebut.[2] Kondisi jiwa mereka yang demikian sangat afektif dalam dalam upaya pertumbuhan dan perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Sejarah Tafsir Al-Qur’an di IndonesiaPerhatian dan usaha mempelajari al-Qur’an tidak hanya terjadi pada umat Islam di Negara-negara Islam, seperti Mekkah, Madinah, dan Irak tetapi terjadi diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Bersamaan dengan proses masuknya Islam di Indonesia para ulama dan juru dakwah mengenalkan al-Qur’an kepada masyarakat Indonesia.[3] Dengan kondisi bangsa Indonesia yang terkenal dengan keramahannya memudahkan Islam masuk ke Indonesia, sehingga kehadiran Islam di Indonesia tidak pernah mengalami penolakan , bahkan mereka ikut tertarik untuk menyebarkannya. Kondisi serupa ini juga terlihat dalam menerima tafsir dari kitab suci al-Qur’an. Hal ini dapat dibuktikan dengan menculnya tafsir al-Qur’an yang terkadang jauh dari kebenaran. Semua itu tidak dipermasalahkan oleh bangsa indonesia, malah diantara mereka ada yang mempercayainya dan mengembangkannya.[4]Analisa Mahmud Yunus mengenai sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia menunjukkan bagaimana al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian al-Qur’an” di surau, langgar, dan masjid. Bahkan beliau mengeklaim bahwa pendidikan al-Qur’an waktu itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak, sebelum diajarkan praktik-praktik ibadah. Upaya mempelajari al-Qur’an pada tahap selanjutnya adalah dengan mempelajari konsep tertentu dari al-Qur’an. Kemudian mempelajari tafsir dan ‘ulum al-Qur’an yang pada awalnya dalam bentuk penjelasan lisan. Lama kelamaan mulai muncul para ulama yang menulis karya-karya tafsir dalam bentuk tertulis, baik dalam bentuk terjemahan, maupun karya tafsir mandiri.[5]Perkembangan penafsiran di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Arab yang merupakan tempat turunnya al-Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Penyebab perbedaan tersebut terutama pada latar belakang budaya dan bahasa. Kajian tafsir di Arab berkembang dengan cepat dan pesat, karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan untuk memahami al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab.[6]Proses pemahaman al-Qur’an di Indonesia terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, maka dapat dipahami jika penafsiran al-Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan ditempat asalnya.[7]Sejak pertama Islam masuk ke Aceh pada tahun 1920 M, pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh serta pengajian al-Qur’an tampak cukup meyakinkan. Merujuk pada naskah-naskah yang ditulis ulama Aceh, dapat di pahami bahwa pada abad ke-16 M telah muncul upaya penafsiran al-Qur’an yang dapat diketahui dengan penemuan sepenggal naskah tafsir al-Qur’an surah al-Kahfi (18):9, yang tidak diketahui penulisnya. Diduga naskah tersebut ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yang mana ketika itu mufti kesultanannya adalah Syamsuddin al-Sumatrani, atau mungkin sebelumnya, Sultan ‘Ala al-din Ri’ayat syah Sayyid al-Mukammil, dimana mufti kesultanannya adalah Hamzah al-Fansuri. Satu abad kemudian muncul Abdur Rauf al-singkili seorang ulama terkemuka di Aceh menulis tafsir lengkap yang bejudul Tarjuman al-Mustafid.[8] Dengan karyanya tersebut beliau, merupakan seorang alim pertama di dunia Melayu yang berjasa menulis tafsir al-Qur’an lengkap dalam bahasa melayu.[9]Perkembangan kajian tafsir pasca Abdur Rauf al-Singkili terus berlangsung. Namun tidak ada karya tafsir yang populer dikalangan penulis muslim Melayu setelah itu kecuali karya Syekh Nawawi al-Bantani yang berjudul Mar’ah Labid atau Tafsir al-Munir. Memasuki abad ke-20 kajian tafsir terus berkembang, dalam periode ini lahir beberapa tafsir karya mufassir Indonesia mulai dari Mahmud Yunus, Hamka Hingga M. Quraish Shihab dengan ragam metode dan corak yang semakin berkembang.[10]C. Periodeisasi Perkembangan Tafsir Di IndonesiaBerdasarkan kondisi yang demikian tafsir al-Qur’an di Indonesia dapat dibagi menjadi berapa periode. Pertama periode klasik, kedua periode, pertengahan, ketiga periode pramodern, dan keempat periode modern sampai sekarang. Pada keempat peridode ini perlu dikaji kondisi penafsirannya secara rinci sehingga ketiga aspek pokok dalam tafsir al-Qur’an, yaitu bentuk, metode, dan corak tafsir dapat diketahui. Dengan demikian, akan tampak jati diri tafsir al-Qur’an pada setiap periode.1. Periode Klasik (Abad 7-15 M)Periode klasik adalah periode dimana sejak permulaan Islam sampai ke Indonesia pada abad ke-1/2 sampai abad ke-10 H (7-15 M.). karena pada abad inilah cikal bakal bagi perkembangan tafsir pada masa-masa sesudahnya.[11] Usaha memahami al-Qur’an dalam bahasa setempat telah dimulai, namun penafsiran yang ada masih belum tertulis.a. Bentuk TafsirPenafsiran pada periode ini boleh dikatakan belum menampakkan bentuk tertentu yang mengacu pada al-ma’thu>r atau al-ra’yu karena masih bersifat umum. Hal ini disebabkan oleh kondisi kehidupan ditengah masyarakat, yang diketahui pada saat itu umat Islam Indonesia belum menjadi komunitas muslim dalam arti sesungguhnya. Karena pada saat itu masyarakat Islam dapat dikatakan sebagai periode Islamisme, yang pada mulanya bangsa Indonseia menganut (kepercayaan) animisme menjadi penganut Islam.[12]Kondisi yang demikian, jelas tidak memungkinkan jika memberikan tafsir al-Qur’an dalam bentuk tertentu, karena pada umumnya mereka masih mu’alaf. Jika dirasa perlu memberikan istilah terhadap tafsir pada masa ini, dapat disebut sebagai tafsir berbentuk embriotik integral. Artinya, tafsir al-Qur’an diberikan secara integral bersamaan dengan bidang lain, seperti tauhid, tasawuf, fiqh, dan lain-lain, yang disajikan secara praksis dalam bentuk amaliyah sehari-hari.[13]Contoh populer adalah istilah molimo yang dikemukakan oleh Sunan Ampel dalam bahasa jawa yang berarti emoh main (tidak berjudi), emoh ngombe (tidak minum-minuman keras), emoh madat (tidak mau menghisap candu atau narkoba), emoh maling (tidak mencuri), dan emoh madon (tidak main perempuan dan berzina), yang mana semuanya merupakan tafsir dari surah al-Maidah ayat 38,39, 90, dan al-Isra’ ayat 32.[14]b. Metode TafsirDari keempat metode tafsir yang dikenal dalam tafsir al-Qur’an sebagaimana yang dikatakan oleh al-Farmawi yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudu’i.[15] maka pada periode ini mengisyaratkan metode tafsir yang dipakai adalah metode Ijamli (global). Meskipun belum sepenuhnya mengikuti metode tersebut, sebab proses penafsiranya dilakukan secara sederhana dan global itupun diterapkan secara lisan, tidak dengan tulisan.c. Corak TafsirJika diamati secara seksama, tafsir al-Qur’an yang diterapkan oleh ulama pada periode klasik ini, dari sudut coraknya dapat dikatakan bersifat umum. Artinya, penafsiran yang diberikan tidak didominasi oleh suatu warna dan pemikiran tertentu, tetapi menjelaskan ayat-ayat yang dibutuhkan secara umum dan proposional, misalnya ayat tentang hukum-hukum fiqh dijelaskan jika terjadi kasus-kasus fiqhiyyah, seperti salat, zakat, dan puasa. Maka dengan demikian, corak penafsiran yang diberikan pada masa ini, hakikatnya menganut corak umum, tidak mengacu pada suatu corak tertentu.[16]2. Periode Pertengahan (Abad 16-18 M)Memasuki abad ke-16 tafsir al-Qur’an pada masa ini lebi berkembang dan lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena tidak didasarkan pada kekuatan ingatan semata sebagaimana pada periode klasik. Pada masa ini telah memiliki buku pegangan yang representatif dari ahi tafsir yang kompeten dan professional.Bepijak dari kenyataan itu, tidak salah jika disimpulkan bahwa tafsir a-Qur’an di Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode ini. Sementara pada periode sebelumnya belum dapat disebut permulaan upaya tafsir al-Qur’an karena pada saai itu cara menafsirkan al-Qur’an masih bercampur aduk secara integral dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti fiqh, tauhid, tasawuf, dan teologi.[17]a. Bentuk TafsirBerdasarkan data yang ada, tampak bahwa bentuk penafsiran al-Qur’an pada masa ini adalah berbentuk al-ra’yu (pemikiran). Karena upaya yang dilakukan ulama saat itu adalah membaca dan memahami tafsir tertulis yang datang dari arab, seperti kitab Al-Jalalain yang dibacakan kepada murid-murid lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya). Sementara bentuk al-ma’thu>r boleh dikatakan tidak begitu populer, bahkan boleh disebut tidak masuk ke Indonesia pada waktu itu.[18]Namun meskipun penafsiranya berbentuk rasional, penafsir tidak terhalang memakai riwayat seperti hadis-hadis Nabi Saw. Keberadaan hadis didalam tafsir yang berbentuk rasional seperti itu hanya sebatas legitimisasi terhadap pemikiran dan ide yang dikemukakannya.[19]b. Metode TafsirMetode tafsir yang diterapkan tidak berbeda dengan metode tafsir yang dipakai pada periode klasik, yaitu metode ijmali (global), tetapi cara penyampaianya telah meningkat. Jika pada periode yang lalu sepenuhnya disampaikan secara lisan, dari mulut ke mulut, tanpa menggunakan sarana atau bahan bacaan, maka pada periode ini teknik penyampainnya dilengkapi dengan kitab.[20]c. Corak TafsirCorak atau dominasi tafsir pada periode ini masih bersifat umum tidak mengacu pada pemikiran tertentu. Meskipun demikian, pada periode ini penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui penelaahan terhadap buku teks yang dikaji. Jadi, corak penafsirannya yang dikaji adalah corak yang mendominasi pada kitab yang mereka baca.[21]3. Periode Pramodern (Abad 19 M)Tafsir al-Qur’an pada pada periode pramodern ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pada periode tengah. Jadi, secara subtansial tafsir mereka sama karena sama-sama memakai satu kitab, yang pada saat itu kitab yang dipakai adalah Al-Jalalain dalam pengajaran tafsir kepada anak didik baik murid maupun santri. Dengan demikian, wawasan tafsir al-Qur’an di seluruh Indonesia berada pada level yang sama.Meskipun buku yang dipelajari di periode ini sama dengan buku yang dipelajari pada periode lalu, akan tetapi teknik penyampaian dan sarananya tampak lebih maju. Kalau di periode yang lalu penerjemahan yang dilakukan belum tertulis, pada periode ini telah ditulis. Demikian juga tempat dan sistem pengajiannya dibuat semacam halaqah dan guru berada di tengah, yang mana sistem seperti ini sebelumnya tidak begitu populer.[22]Jika diamati lebih mendalam, perkembangan pemikiran tafsir tidak tampak mencolok, kitab yang dipakai sama dengan kitab tafsir yang biasa digunakan, yaitu kitab tafsir Al-Jalalain. Hanya saja pada masa ini telah meningkat kepada syarah terhadap tafsir tersebut sesuai dengan kebutuhan anak didik. Jika diperrhatikan dari sudut bentuk, metode, dan corak penafasiran, tampak masih tetap berupa al-ra’yu (pemikiran), metode dan coraknya pun sama.Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia sampai abad ke-19 M itu masih belum menggembirakan, atau dengan kata lain tafsir al-Qur’an sampai periode itu masih belum dapat diandalkan untuk membimbing umat ke arah suatu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara menyeluruh dan tuntas. Amat logis jika di Indonesia sampai abad ke-19 M tidak lahir mufasir-mufasir dalam arti yang sesungguhnya karena mereka hanya diperkenalkan dengan satu kitab saja, yaitu Al-Jalalain, sementara kitab lainnya, seperti kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang sudah ada pada saat itu tidak begitu populer dikalangan pesantren pada umumnya.[23]Maka berdasarkan hal itu, tidak aneh jika tafsir al-Qur’an kurang berkembang di negeri Indonesia sejak dulu sampai pertengahan abad ke-20 ini. Baru setelah memasuki paruh kedua abad ke-20 tampak penafsiran al-Qur’an mulai bergerak agak lebih cepat berkembang dan cukup menggembirakan.4. Periode Modern (Abad 20)Pada abad ini disebut periode modern dalam perkembangan tafsir di Indonesia karena abad ini memberikan kontribusi yang cukup menggembirakan dalam upaya penafsiran al-Qur’an jika dibandingkan dengan abad-abad sebelumya. Maka, untuk memudahkan analisis dalam membahas perkembangan tafsir, dibagi menjadi tiga periode.a. Periode Pertama (1900-1950)Dalam periode pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model dan teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks al-Qur’an yang menjadi objek tafsir, litaratur pada periode ini cukup beragam. Pertama, ada yang berkosentrasi pada surah-surah tertentu sebai objek penafsirannya. Misalnya Tafsir al-Qur’an Karim Yasin karya Adnan Yahya lubis. Kedua, karya tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu, dimana yang menjadi penafsiran adalah juz ke-30 (Juz ‘Amma. Contoh dari model ini adalah Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma karya H. Abdul Karim Amrullah. Ketiga, ada yang menafsirkan a-Qur’an 30 juz, yaitu Tafsir Qur’an Karim karya H. Mahmud Yunus yang untuk pertama kalinya diselesaikan pada tahun 1938.[24]b. Periode Kedua (1951-1980-an)Beberapa model teknis penyajian dan objek tafsir dalam periode pertama juga masih muncul pada periode ini. Literatur tafsir yang mengarahkan objek tafsiranya pada surah tertentu masah dapat ditemukan. Misalnya, karya tafsir yang mengkhususkan pada surah al-Fatihah, yaitu Samudra al-Fatihah karya Ben Arifin. Adapaun dalam bentuk tafsir lengkap 30 juz seperti Tarjemah dan Tafsir Al-Qur’an karya; Huruf Arab dan Latin karya Bachtiar Surin.Perkembangan baru yang tejadi di periode ini, dimana muncul karya tafsir yang berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum, seperti Ayat-ayat Hukum, Tafsir dan Uraian-uraian Perintah dalam Al-Qur’an karya Dahlan Saleh, dan lain sebagainya.[25]c. Periode Ketiga (1990-an – 2000)Pada periode ketiga, proses kreatif penulisan tafsir terus mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam periode ini muncul beragam tafsir dari para intelektual Muslim Indonesia. Setidaknya ada 24 karya tafsir yang muncul dengan beragam metode dan corak. Namun yang terlihat mendominasi perode ini adalah tafsir dengan model tematik. Sebagian diatantaranya merespon perkembangan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti persoalan gender, perkembangan politik, hubugan dengan non muslim, dan lain-lain. Beberapa karya tafsir yang muncul pada periode ini, seperti Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis karya Harifuddin Cawidu, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Pelbagai Persoalan Umat karya M. Quraish Shihab, hingga Tafsir Al-Misbah yang merupakan tafsir 30 juz karyanya.[26]Keseluruhan karya tafsir yang ada pada periode ketiga ini, mencerminkan adanya keragaman model teknis penulisan tafsir serta metodologi tafsir yang digunakan. Hal ini merupakan salah satu arah yang memperlihatkan adanya trend-trend baru yang unik dalam proses penulisan karya tafsir pada tahun 1990-an.D. Karya Tafsir di IndonesiaDalam hal ini, paling tidak ada empat bentuk karya tafsir yang berkembang di Indonesia yaitu tarjemah, tafsir kosentrasi pada surah atau juz tertentu, tafsir tematik, dan tafsir lengkap 30 juz.1. TerjemahTerjemah al-Qur’an dalam pembahasan ini dimasukkan kedalam karya tafsir, karena pada dasarrnya terjemah juga melibatkan unsurtafsir yanti pemahaman dan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun dalam bentuk yang sederhana, akan tetapi didalamnya juga disertai dengan catatan-catatan kaki tentang makna suatu ayat. Selain itu terjemah juga berperan penting dalam pemahaman umat Islam terhadap al-Qur’an di Indonesia.Karya terjemah yang dihasilkan antara lain Al-Qur’an dan Terjemahanya oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI tahun 1967, Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh redaksi Penerbit Bahrul Ulum pimpinan H, Bachtiar Surin, Al-Qur’an Bacaan Mulia tahun 1997 oleh Dr. H. B. Jassin, dan AL-Qur’an dan Maknanya oleh M. Quraish Shihab.[27]2. Tafsir yang kosentrasi pada urah atau juz tertentuSurah yang menjadi kecenderungan umum untuk ditafsirkan antara lain surah al-Fatihah, Yasin dan Juz ‘Amma (juz ke-30). Hal ini dapat dimaklumi, karena surah-surah tersebut merupak surah yang cukup familiar bagi masyarakat Indonesia.Karya tafsir yang memfokuskan pada surah al-Fatihah antara lain adalah Tafsir Al-Qur’anul Karim Surat Al-Fatihah karya Muhammad Nur Idris (Jakarta: Widjaja, 1995), Rahasia Ulumul Qur’an atau Tafsir Surat Al-Fatihah karya A. Bachry (Jakarta: Institute Indonesia, 1956), Kandungan Al-Fatihah karya Bahroem Rangkuti (Jakarta: Pustaka Islam, 1960), dan Tafsir Surat Al-Fatihah karya H. Hasri (Cirebon: Toko Mesir, 1960).[28]Karya tafsir yang memfokuskan pada surah Yasin, antara lain Tafsir Al-Qur’anul Karim, Yasin karya Adnan Lubis (Medan: Islamiyah, 1951), Tafsir Surat Yasin dengan Keterangan karya A. Hassan (Bangil: Persis, 1951), Tafsir surah Yasin karya Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Kandugan Surat Yasin karya Mahfudi Suhli (t.t: Yulia Karya, 1978).Karya tafsir yang memfokuskan pada juz ‘amma, antara lain Al-Burhan: Tafsir Juz Amma karya H. Abdul Karim Amrullah (Padang: al-Munir, 1930), Al-Hidayah Tafsir Juz Amma karya A. Hassan (Bandunga: al-Ma’arif, 1930), Tafsir Juz Amma karya Adnan yahya Lubis (Medan: Islamiyah, 1954).Karya lain yang memfokuskan diri pada ayat dan surah tertentu, antara lain Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral Al-Qur’an karya Jalaluddin Rakhmat (1993), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (1997) dan Tafsir Al-Lubab (2012) Karya M. Quraish Shihab, dan Tafsir Hijri, Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat An Nisa’ Karya KH. Didin Hafidhuddin (Jakarta: Logos, 2000).[29]3. Tafsir TematikAda dua model karya tafsir tematik yang berkembang di Indonesia yaitu tematik plural yang membahas berbagai tema persoalan dan tematik singular yang membahas satu topik bahasan tertentu. Karya tafsir tematik plural antara lain adalah Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehiduan Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994), Wawasan Al-Qur’an (1996), Membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an karya M. Dewam Raharjo (Jakarta: Paramadina, 1996), dan Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Ummat Beragama karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemkiran Islam PP Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka SM, 2009).Sedangkan karya tafsir tematik yang singular antara lain adalah Konsep Kufr dalam Al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya Harifuddin Cawidu, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur’an sebuah Kajian Tematik karya Jalaluddin Rahman, Wawasan Al-Qur’an tentang Dzikir dan Doa; Asma al-Husna: Perspektif Al-Qur’an, Jin dalam Al-Qur’an, Malaikat dalam Al-Qur’an, dan Syetan dalam Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.[30]4. Tafsir Lengkap 30 Juza. Tarjuman Mustafid karya Abdul Ra’uf al-Singkelb. Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil karya Syeikh Nawawi al-Bantanic. Tafsir Al-Furqan karya A. Hassand. Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunuse. Faydh al-Rahman karya Muhammad Shaleh B. ‘Umar al-Samaranif. Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan karya T.M Hasbi ash Shiddieqyg. Tafsir Al-Azhar karya H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)h. Al-Qur’an dan Tafsirnya disusun Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII)E. KesimpulanKajian tafsir di Indonesia pada pada dasarnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Berbagai karya tafsir telah dihasilkan oleh para intelektual muslim Indonesia dengan menggunakan metode dan corak yang cukup beragam, mulai dari bentuk ijmali, hingga maudu’i, mulai dari bentuk tafsir yang sederhana, hingga bentuk yang dianggap telah memenuhi kriteria tafsir modern. Dari berbagai model tafsir yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kajian tafsir di Indonesia semakin lama semakin menunjukkan perkembangan yang cukup membagakan. Sekaligus menunjukkan bahwa minat terhadap kajian tafsir di Indonesia cukup tinggi.Daftar PustakaBaidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka MandiriIslah Gusmian. 2013. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta: Lkis Printing CemerlangMuzammil, Iffah “Studi Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Al-Afkar, Vol. 17 (Juli, 2006)Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Mutawatir, Vol. 3, No. 1 (Januari,
[1] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 1.[3] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang, 2013), 16.[4] Baidan, Perkembangan Tafsir…, 27.[5] Iffah Muzammil, “Studi Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Al-Afkar, Vol. 17 (Juli, 2006), 2.[6] Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Mutawatir, Vol. 3, No. 1 (Januari, 2013), 147.[7] Baidan, Perkembangan Tafsir…, 31.[8] Gusmian, Khazanah Tafsir…, 19.[9] Muzammil, Studi Tafsir…, 3.[10] Muzammil, Studi Tafsir…, 3.[11] Baidan, Perkembangan Tafsir…, 32.[14] Muzammil, Studi Tafsir…, 3.[15] Gusmian, Khazanah Tafsir…, 111.[16] Baidan, Perkembangan Tafsir…, 37.[17] Ibid., 39.[18] Ibid.[19] Baidan, Perkembangan Tafsir…, 44.[21] Ibid., 54.[23] Baidan, Perkembangan Tafsir…, 75-77.[24] Gusmian, Khazanah Tafsir…, 59-61.[25] Ibid., 61-62.[26] Muzammail, Studi Tafsir…, 8.[27] Taufikurrahman, Kajian Tafsir…, 149.[28] Gusmian, Khazanah Tafsir…, 59.[29] Taufikurrahman, Kajian Tafsir…, 150.[30] Taufikurrahman, Kajian Tafsir…, 151.[31] Ibid., 152-164.
0 komentar:
Posting Komentar