POLIGAMI DALAM SURAH AN-NISA’ AYAT 3 PERBANDINGAN ANTARA PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN M. QURAISH SHIHAB
Oleh :Mochammad Abdullah
A. PendahuluanPoligami berasal dari bahasa Yunani yang merupakan penggalan dari kata poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jika kedua kata ini digabungkan memiliki arti suatu perkawinan yang banyak. Maka dengan demikian dapat dipahami bahwa poligami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang lebih dari satu istri atau bisa jadi dengan jumlah yang tidak terbatas.[1]
Pada dasarnya poligami bukan sesuatu yang baru berlaku di kalangan masyarakat Muslim, namun juga berlaku di kalangan masyarakat klasik jauh sebelum Islam berkembang. Poligami telah eksis dalam kehidupan manusia di berbagai kawasan dunia sebagai tradisi yang sangat tua. Begitu juga dalam kitab-kitab suci orang Yahudi dan Nasrani pun tidak melarang sistem perkawinan poligami tersebut. Lebih dari itu, poligami dianggap sebagai suatu kewajaran dan merupakan perbuatan sah para nabi dan raja-raja orang Yahudi. Mereka mengawini lebih dari seorang istri bahkan mengumpulkan puluhan istri dan selir di dalam satu rumah.[2]Dalam kehidupan masyarakat muslim, secara umum terdapat asumsi bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah poligami. Pemahaman semacam ini telah menjadi sebuah dogma yang secara kultural telah berkembang sejak zaman klasik. Dalam konteks inilah Islam datang dengan tuntunan ajaran syariatnya untuk mengatur serta membatasi keburukan yang terjadi pada masyarakat yang melakukan poligami. Tujuan semua itu untuk memelihara hak-hak wanita, menjaga kemulian mereka yang dulu terbaikan, karena poligami ketika itu tanpa adannya ikatan dan persyaratan tertentu.Dalam Islam yang menjadi landasan utama mengenai poligami adalah al-Qur’an yang secara eksplisit Allah memberikan gambaran, bahwa seseorang bisa mengawini lebih dari satu perempuan, sebagaimana yang tertera pada surah an-Nisa’ ayat 3. Dalam hal ini para pemikir dan mufassir Islam klasik bersepakat bahwa praktek poligami diperbolehkan dalam Islam. Akan tetapi mengenai jumlah istri yang diperbolehkan untuk dikawini, terdapat perbedaan dikalangan mereka. Hal ini disebabkan karena perbedaan pemikiran mereka, ketika menafsirkan huruf ‘ataf wau dalam ayat tersebut.[3]Seiring dengan perkembangan Islam dan budaya status wanita semakin meningkat, secara global mereka mendapatkan perhatian dunia. Kaum wanita yang dulunya cenderung diremehkan dan hampir tidak pernah mendapatkan peran yang mulia dalam kehidupan, semakin lama semakin tampak peran kiprahnya dalam memberikan andil terhadap perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Pergeseran nilai dan sistem kehidupan tersebut bergerak dengan cepat, bersamaan dengan perkembangan budaya, pendidikan, dan pengalaman kaum wanita.Salah satu tokoh modernis yang memiliki pemikiran berbeda dengan ulama’ klasik tentang poligami ini adalah Muhammad Abduh. Maka dalam makalah ini penulis ingin membahas mengenai pemikiran dan penafsiran Abduh mengenai poligami dalam surah an-Nisa’ ayat 3. Yang mana dalam hal ini penulis juga akan membandingkan (comparative) penafsiran beliau dengan mufassir Indonesia yaitu M. Quraish Shihab dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Al-Misbah.B. Argumentasi Mufassir tentang Poligamiوَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا[4]“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Akan tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya.”1. Penafsiran Muhammad Abduh (Tafsir Al-Manar)Dalam merespon persoalan hukum poligami, Abduh memiliki pandangan yang berbeda dengan para ulama pada umumnya. Abduh menilai bahwa diperbolehkannya poligami dalam ajaran Islam merupakan tindakan yang dibatasi dengan berbagai persyaratan yang amat ketat. Sehingga, adanya persyaratan itu menunjukkan bahwa praktek poligami merupakan tindakan darurat yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang sangat membutuhkannya saja, bukan untuk semua orang.[5]Kondisi darurat yang disebutkan Abduh, sebagaimana dikutip Khoiruddin Nasution, sebagai alasan kebolehan dalam melakukan poligami adalah: pertama, kebolehan berpoligami harus sejalan dengan kondisi dan tuntutan zaman. Kedua, bisa berbuat adil, yang mana merupakan syarat yang sangat berat. Sampai-sampai Allah Swt sendiri mengatakan, kalaupun manusia berusaha keras untuk berbuat adil, manusia tidak akan mampu, khususnya dalam hal pembagian cinta dan pelayanan batin, sebagaimana firman-Nya:وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا[6]“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Ketiga, bahwa suami tidak bisa memenuhi sebagai persyaratan poligami, harus melakukan monogami. Sehingga dari sinilah Abduh menyimpulkan bahwa asas perkawinan yang menjadi tujuan syariat adalah monogami.[7]Dari ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk berpoligami, Abduh menilai sangat kecil orang yang mampu memenuhi persyaratan tersebut. Apalagi tindakan poligami itu seringkali didasari oleh hal-hal yang negatif. Sehingga bagi Abduh, praktek poligami itu sangat sulit dilakukan pada zaman modern ini. Dari sinilah dapat dipahami bahwa pemikiran Abduh mengenai poligami, merupakan suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan atau haram.[8]Abduh menjadikan surah an-Nisa’ ayat 3 tersebut sebagai dasar hukum poligami karena mayoritas ulama berpendapat bahwa diturunkannya ayat tersebut setelah terjadinya perang uhud ketika banyak pejuang Islam yang gugur di medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya.Abduh juga menjadikan pernyataan ‘Aisyah mengenai ayat tersebut. ‘Aisyah menjawab bahwa yang dimaksud al-yata>ma> dalam ayat itu adalah wanita-wanita yang berada dalam kekuasaan walinya. Wali itulah yang mengatur dan mengelola hartanya. Ia mengagumi harta dan kecantikannya, sehingga ia ingin mengawininya yang semata-mata karena tendensi harta dan kecantikannya, tanpa memberikan mahar sebagaimana mestinya. Inilah yang dilarang oleh Allah Swt dan selanjutnya diberikan alternatif lain untuk mengawini wanita-wanita yang bukan yatim, mungkin satu, dua, tiga, atau empat asal sanggup untuk berbuat adil diantara mereka.[9]Dalam konteks ayat poligami, ‘Abduh memandang bahwa tujuan poligami dalam Islam, berdampak positif bagi perkembangan Islam masa awal. Kondisi ini berbeda dengan konteks masyarakat modern saat ini. Adanya poligami dapat menyebabkan terjadinya pertentangan dalam masyarakat. Sebab, menurut Abduh pratek, poligami di zaman ini dapat memicu permusuhan antara para istri, anak-anak, dan keluarga. Akibatnya, permusuhan itu akan meluas dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, disyariatkannya poligami yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai. Dari sinilah Abduh memandang pentingnya untuk mempertimbangkan kembali ajaran poligami dengan pertimbangan maslaha. Sebab, bagi Abduh ajaran Islam seluruhnya bermuara pada kesejahteraan manusia. Namun manakala pratek poligami tidak sejalan dengan tujuan ini, dalam artian khawatir untuk tidak mampu berlaku adil, maka status poligami harus dipertimbangkan kembali, dalam hal ini poligami juga bisa dilarang atau diharamkan.[10]2. Penafsiran M. Quraish Shihab (Tafsir Al-Misbah)Menurut M. Quraish Shihab ada beberapa hal yang pelu digaris bawahi pada surah an-Nisa’ ayat 3, walapun berbentuk kata perintah (fi’il amr) akan tetapi tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilakukan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia juga tidak menganjurkan apalagi mewajibkan. Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh umat yang membutuhkanya dan dengan syarat yang tidak ringan.[11] Itupun diakhiri dengan anjuran untuk bermonogami dengan firman-Nya “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Oleh karennya pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya, akan tetapi harus dilihat sudut pandang penetapan hukumnya dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.Penafsiran yang terbaik menurut M. Quraish Shihab menyangkut ayat diatas, adalah penafsiran yang berdasarkan keterangan istri Nabi Saw yaitu ‘Aisyah, tatkala Urwah Ibn Zubair bertanya kepada ‘Aisyah mengenai ayat tersebut. Bahwa beliau menjawab ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan harta wali, dan sang wali senang akan kecantikan dan harta anak yatim, maka dia hendak menikahinya tanpa memberinya mahar yang sesuai. Setelah turunnya ayat ini para sahabat bertanya lagi kepada Nabi Saw tentang perempuan, maka turunlah firman-Nya yaitu surah an-Nisa’ ayat 127, yang mana dalam ayat tersebut, terdapat redaksi “sedang kamu enggan menikahi mereka” yang kemudian Aisyah melanjutkan penjelasannya bahwa itu adalah keengganan para wali untuk menikahi anak yatim yang sedikit harta dan kecantikannya. Maka sebaliknya dalam ayat 3 surah an-Nisa’ ini, mereka dilarang menikahi anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya, akan tetapi enggan berlaku adil terhadap mereka.[12]Kemudian mengenai penyebutan dua, tiga, atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang 1ain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya, "Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda selama anda tidak khawatir sakit". Tentu saja perintah menghabiskan makanan yang lain hanya sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.[13]Walaupun demikian M. Quraish Shihab tidak menutup mati pintu poligami. Poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun sekali lagi perlu diingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Ia hanya menilai bahwa poligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu.[14]3. Analisis Perbandingan Kedua MufassirDari pemaparan diatas telah dibahas mengenai tafsiran tentang poligami oleh kedua mufassir yaitu Muhammad Abduh dan M. Quraish Shihab. Yang mana dalam menafsirkan surah an-Nisa’ ayat ke 3, keduanya memiliki banyak persamaan pendapat dalam penafsirannya. Dalam hal poligami Abduh berpendapat diperbolehkannya poligami dalam syariat Islam merupakan tindakan yang dibatasi dengan berbagai persyaratan yang sangat amat ketat, sehingga dengan demikian poligami merupakan tindakan darurat yang hanya boleh dilakukan bagi orang yang sangat membutuhkan.Pendapat ini juga mempunyai kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab, bahwa beliau juga berpendapat meskipun dalam ayat tersebut terdapat kata perintah (fi’il amr), bukan berarti menunjukkan adanya anjuran apalagi kewajiban untuk berpoligami. Hanya saja dalam ayat tersebut berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh umat yang membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan.Selain itu M. Quraish Shihab dan Muhammad Abduh juga sama-sama menggunakan riwayat ‘Aisyah dalam menafsirkan ayat ke 3 surah an-Nisa’. bahwa ayat tersebut bukan ayat yang berbicara mengenai anjuran untuk poligami, namun ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim. Yang mana ketika itu anak yatim dinikahi hanya sebab karena harta dan kecantikannya, akan tetapi mereka enggan untuk berlaku adil terhadap mereka. Dari sinilah diberikan alternatif lain untuk mengawini wanita-wanita yang bukan yatim, mungkin satu, dua, tiga, atau empat asal sanggup untuk berbuat adil.C. PenutupPada dasarnya Islam tidak melarang umat muslim melakukan poligami. Hanya saja kebolehan berpoligami merupakan tindakan yang yang dibatasi dengan beberapa syarat yang amat ketat dan sulit, sebagaimana pendapat Abduh dan M. Quraish Shihab. Sehingga, adanya persyaratan tersebut poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat bagi seseorang yang memang sangat membutuhkannya saja bukan untuk semua orang. Bahkan ‘Abduh berkesimpulan bahwa poligami adalah suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan atau haram, jika khawatir tidak mampu berlaku adil.Dalam surah an-Nisa’ ayat 3, bukanlah ayat yang secara langsung memberikan penafsiran tentang poligami, akan tetapi ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim. Maka, jika ada seseorang ingin melakukan poligami dengan berdalil ayat ini, disebabkan mereka tidak mau tahu atau enggan untuk memahami latar belakang ayat tersebut. Karena pada saat itu poligami bernilai positif dan untuk menyelamatkan kaum wanita dari keterpurukan. Kondisi ini berbeda dengan konteks masyarakat modern saat ini, yang kebanyakan adanya praktek poligami hanya didasari oleh nafsu semata.D. Daftar PustakaGhani Abduh, Abdul. 1987. Keluarga Muslim dan Berbagai Masalahnya Bandung: Pustaka.Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka PelajarNavaron, Attan. 2010. Skripsi: “Konsep adil dalam Poligami: Studi Analis Pemikiran M. Quraish Shihab”. Semarang: IAIN Walisongo.Rid}a, Muh}ammad Rashi>d >. Tafsir al-Manar, vol. 4. Beirut: Dar al-Ma’rifah.Sam’un, “Poligami dalam Perspektif Muhammad” Abduh, dalam junal Al-Hukama’, vol. 2. No. 1 (juni, 2012)Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2. Tangerang: Lentera Hati.Suprapto, Bibit. 1990. Liku-liku Poligami. Yogyakarta: Al Kautsar.
[1] Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami (Yogyakarta: Al Kautsar, 1990), 11.[2] Abdul Ghani Abduh, Keluarga Muslim dan Berbagai Masalahnya (Bandung: Pustaka, 1987), 101.[3] Sam’un, “Poligami dalam Perspektif Muhammad” Abduh, dalam junal Al-Hukama’, vol. 2. No. 1 (juni, 2012), 353.[4] QS. An-Nisa’: 3[6] QS. An-Nisa’: 129.[7] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 103.[8] Nasution, Riba dan Poligami…, 102.[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol.2 (Tangerang: Lentera Hati, 2007), 341.[12] Shihab, Tafsir al-Misbah…, 341[13] Ibid.[14] Attan Navaron, Skripsi: “Konsep adil dalam Poligami: Studi Analis Pemikiran M. Quraish Shihab” (Semarang: IAIN Walisongo, 2010), 57.
0 komentar:
Posting Komentar